Jumat, 10 Februari 2012

PERAN AKUNTAN DALAM PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Oleh:  Herman  Darwis

ABSTRAK
               Penerapan GCG yang hanya sebatas wacana konsep dan jauh dari esensinya, dapat mengakibatkan kejatuhan bagi sebuah perusahaan. untuk dapat menerapkan GCG dengan baik, maka etika bisnis dan profesi  harus diperhatikan oleh manajemen dan karyawan dalam melakukan praktik-praktik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang dilaksanakan atas nama perusahaan. Penerapkan  GCG dibutuhkan peran akuntan, baik sebagai  akuntan  perusahaan  maupun  sebagai  praktisi  accounting  dan  auditing  baik  secara internal  maupun  sebagai  eksternal  auditor. Akuntan manajemen dengan berlandaskan pada etika bisnis dan profesi dapat memberikan saran sesuai dengan fungsi dari akuntansi manajemen yaitu  masalah efisiensi, dukungan dalam proses pengambilan keputusan yang optimal, pengukuran kinerja, perhitungan dan penetapan renumerasi yang wajar, serta penyiapan strategi yang dapat meningkatkan posisi saing dan tentunya juga kinerja perusahaan. Akuntan publik sebagai pihak luar yang independen dituntut menjunjung tinggi kode etik profesi akuntan publik. Dalam Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia ditetapkan delapan prinsip etika yang meliputi tanggung jawab profesi, kepentingan umum, integritas, obyektivitas, kompetensi  dan  kehati-hatian  professional,  kerahasiaan,  perilaku  professional,  dan  standar teknis.

KeyWord: Etika Bisnis, Peran Akuntan,  Good Corporate governance

Konsep corporate governance yang komprehensif mulai berkembang sejak kejadian the New York Stock Exchange crash. Pada 19 Oktober 1987, di mana banyak perusahaan multinasional yang tercatat di Bursa Efek New York, mengalami kerugian finansial yang cukup besar, (Zarkasyi, 2008). Untuk mengantisipasi permasalahan pengendalian internal perusahaan banyak kasus tentang rekayasa keuangan, bagaimana menyembunyikan kerugian atau memperindah penampilan kinerja manajemen dan laporan keuangan melalui window dressing atau financial engineering. Umumnya pada situasi bisnis kondusif penyimpangan dalam perusahaan terlihat sangat kabur namun pada saat kesulitan mulai terungkap kerugian dan kepailitan perusahaan.
Rekayasa keuangan ini dilakukan oleh beberapa perusahaan yang mengakibatkan kebangkrutan perusahaan-perusahaan tersebut, sebut saja misalnya: skandal penipuan keuangan besar: skandal Long Term Capital Management, Enron pada tahun 2001, Lehman Brothers pada September 2008, dan Madoff Investment Securities (Adipranata, 2008). Intensitas skandal yang terjadi ini semakin menunjukkan bahwa permasalahan utama bukan hanya masalah kecelakaan bisnis tetapi merupakan penipuan akuntansi yang sistemik. Hal ini mengingatkan kepada kita bahwa skandal tersebut terjadi di negara yang mengagungkan princip Good Corporate Governance (GCG).
Di Indonesia berbagai kasus pelanggaran GCG, misalnya: kasus PT. Kopitime Dot Com Tbk, tahun 2001,  PT. Central Korporindo International Tbk tahun 2001, PT. Jakarta International Hotels & Develompment Tbk 2002, PT. Bank Lippo Tbk tahun 2002, Bank BNI 46 tahun 2003, (Yustiavandana dan Surya, 2006). Pelaksanaan GCG pada perusahaan-perusahaan tersebut hanya sebatas wacana konsep dan jauh dari esensinya. Penerapan GCG hanya mengandalkan kepercayaan terhadap manusia sebagai pelaku bisnis dengan mengesampingkan aspek dimensi moral. Padahal sebagus apapun sistem yang berlaku diperusahaan, apabila karyawan atau manajemen berprilaku menyimpang dan melanggar etika bisnis dan profesi maka dapat terjadi praktek fraud yang sangat merugikan perusahaan dan dapat berakhir dengan kebangkrutan. Seperti dikatakan oleh Ludigdo (2007) bahwa Etika tidak sekedar ada, namun etika haruslah merupakan kesadaran dan kesengajaan untuk selalu bermaksud dan berbuat baik. Etika harus merupakan program nyata organisasi, bukan sekedar live service dan bahan iklan organisasi.
Oleh karena itu untuk dapat menerapkan GCG dengan baik, maka etika bisnis dan profesi  harus diperhatikan oleh manajemen dan karyawan dalam melakukan praktik-praktik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang dilaksanakan atas nama perusahaan.  Tak dapat dipungkiri bahwa praktek-praktek window dressing atau financial engineering melibatkan para akuntan. Untuk itu akuntan perlu melakukan introspeksi diri terhadap kekurangan-kekurangan apa yang masih melekat pada profesi yang dijalaninya. Profesi akuntan yang selama ini ikut serta mewujudkan good governance, seyogyanya memilih prosedur dan kebijakan akuntansi berdasarkan etika bisnis dan profesi sehingga penerapan GCG sesuai yang diharapkan. Tulisan ini mengulas tentang konsep dan manfaat GCG, etika bisnis,  serta peran ilmu akuntansi dan akuntan dalam penerapan GCG.

PEMBAHASAN
Konsep Good Corporate Governance
Meskipun konsep corporate governance itu telah muncul bersamaan dengan timbulnya konsep mengenai korporasi, namun sebahagian besar ahli (antara lain Tjager dkk. 2003; Alijoyo dan Zaini 2004) berpendapat bahwa konsep ini belum tersosialisasi  dengan  baik   sehingga belum terdapat pemahaman yang benar dan mendalam dan begitu juga manfaatnya, maka dirasa perlu     untuk     membahas secara singkat mengenai konsepsi dan manfaatnya. Selain itu masih banyak perusahaan, yang meskipun sudah beroperasi di pasar modal, menganggap bahwa good corporate governance itu hanya sebagai aksesoris belaka dan bukannya sebagai suatu kebutuhan mendasarkan guna mencapai sukses dalam menjalankan roda bisnisnya.
Terdapat berbagai definisi yang dikemukakan oleh  para  ahli maupun lembaga-lembaga yang sangat concern pada isu ini, sehingga tidak terdapat satu definisi tunggal yang berterima (Solomon & Solomon 2004). Hasil survai yang dilakukan Solomon dkk. (2000) menunjukkan bahwa definisi yang diberikan oleh Parkinson (1994) dalam Maksum (2005) yang paling banyak diterima menyatakan bahwa corporate governance adalah proses supervisi dan pengendalian yang dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa manajemen perusahaan bertindak sejalan dengan kepentingan para pemegang saham (shareholders). Cadbury Committee (1992) dalam Maksum (2005) mengemukakan bahwa corporate governance  diartikan  sebagai     system yang berfungsi            untuk             mengarahkan   dan mengendalikan  perusahaan.
Sementara Forum of Corporate Governance for Indonesia-FCGI (2001) dalam Maksum (2005) mengemukakan bahwa corporate governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan (dengan kata lain sebagai sistem yang mengendalikan perusahaan) antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, ka­ryawan serta pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan den­gan hak-hak dan kewajiban mereka.
Dari  beberapa  definisi  yang  dikemukakan  di  atas  dapat  disimpulkan bahwa cor­porate governance itu adalah suatu sistem yang dibangun untuk mengarahkan dan mengen­dalikan perusahaan sehingga tercipta tata hubungan yang baik, adil dan transparan di antara berbagai yang berkepentingan (stakeholder) dalam perusahaan. Pihak-pihak yang berkepen­tingan terdiri atas pihak internal  dan eksternal, yang meliputi:
a.       Pihak internal, yaitu pihak internal terdiri dari direktur, para pekerja dan manajemen  akan  menerima  gaji  dan  imbalan  lainnya  dalam  jumlah  yang wajar
b.      Pihak eksternal, yaitu pemegang  saham,  kreditur  dan  lain-lain. Para pemegang saham seharusnya menerima pengembalian (return) atas modal yang mereka investasikan. Kre­ditur akan memperoleh pelunasan atas pinjaman yang mereka berikan beserta bunganya; begitu juga halnya dengan pelanggan, mereka akan dapat memperoleh barang atau­pun jasa yang ditawarkan perusahaan dengan harga yang wajar dan sebanding dengan uang yang mereka korbankan saat membeli; pemasok akan menerima pembaya­ran atas barang atau jasa yang mereka serahkan kepada perusahaan dan bahkan masya­rakat sekitarnya pun      diharapkan akan memperoleh kontribusi sosial atau bentuk-bentuk manfaat yang lainnya.
Tata hubungan yang sedemikian itulah yang ingin diwujudkan oleh corporate go­vernance. Sebenarnya konsep corporate governance bukanlah sesuatu yang baru, karena konsep ini telah ada dan berkembang sejak konsep korporasi mulai diperkenalkan  di  Ingge­ris  di  sekitar  pertengahan  abad  XIX  (Solomon  & Solomon, 2004). Teori korporasi per­tama yang dikatakan sebagai teori induk dari berbagai teori mengenai korporasi adalah Equity Theory. Teori ini kemudian menurunkan berbagai teori lainnya, antara Entity Theory yang kemudian menurunkan pula Agency Theory  yang menjelaskan bagaimana hubungan kontraktual antara pihak pemilik perusahaan (principal) yang   mendelegasikan        pengambilan keputusan  tertentu           guna        meningkatkan kesejahteraannya dengan pihak manajemen/pengelola (agent) yang menerima pendelegasian tersebut. Agency  Theory inilah yang kemudian memberikan landasan model teoritis yang sangat berpengaruh terhadap konsep good corporate  governance di berbagai perusahaan di seluruh dunia. Kemudian konsep ini menjadi sangat populer dan bahkan dapat dikatakan telah menjadi isu  sentral  bagi kalangan pelaku usaha, pemerintah  dan  juga  pihak-pihak lainnya.
Manfaat Good Corporate Governance
Kasus  bangkrutnya  perusahaan  Enron  Corporation  di  Amerika  Serikat telah memberikan pelajaran penting terutama bagi para pelaku bisnis untuk lebih berhati-hati dalam melakukan investasi. Bentuk kehati-hatian yang dimaksud digambarkan dengan dimasukkannya   syarat-syarat    pelaksanaan   corporate         governance        pada    perusahaan-perusahaan            yang    didanai           oleh lembaga-lembaga  keuangan  berskala  besar,  seperti  CaIPERS.  Begitu  juga, dana-dana internasional tidak diizinkan untuk diinvestasikan ke negara-negara yang standar corporate governance nya rendah. Penerapan corporate governance, tidak hanya kepentingan para investor saja yang dilindungi, melainkan juga akan dapat mendatangkan banyak manfaat dan keuntungan bagi perusahaan terkait dan juga pihak-pihak lain yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan.
Menurut Maksum (2005) bahwa keuntungan yang   diperoleh dengan  penerapan corporate governance dapat disebut antara lain,
1.      Dengan good corporate governance proses pengambilan keputusan akan berlangsung secara lebih baik sehingga akan menghasilkan keputusan yang optimal, dapat meningkatkan efisiensi serta terciptanya budaya kerja yang lebih sehat. Ketiga hal ini jelas akan sangat berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan, sehingga kinerja perusahaa akan mengalami peningkatan.
2.      Good         corporate         governance     akan    memungkinkan dihindarinya atau sekurang-kurangnya      dapat   diminimalkannya        tindakan          penyalahgunaan wewenang oleh pihak direksi dalam pengelolaan perusahaan. Hal ini tentu akan menekan kemungkinan kerugian bagi perusahaan maupun pihak berkepentingan lainnya sebagai akibat tindakan tersebut.
3.      Nilai  perusahaan di mata investor akan meningkat  sebagai  akibat  dari meningkatnya      kepercayaan       mereka kepada                        pengelolaan    perusahaan tempat mereka berinvestasi. Peningkatan kepercayaan investor kepada perusahaan  akan  dapat  memudahkan  perusahaan  mengakses  tambahan dana  yang  diperlukan  untuk  berbagai  keperluan  perusahaan,  terutama untuk tujuan ekspansi.
4.      Bagi  para  pemegang  saham,  dengan  peningkatan  kinerja  sebagaimana disebut pada poin 1, dengan sendirinya juga akan menaikkan nilai saham mereka dan juga nilai dividen yang akan mereka terima. Bagi negara, hal ini juga akan menaikkan jumlah pajak yang akan dibayarkan oleh perusahaan yang berarti akan terjadi peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak. Apalagi bila perusahaan yang bersangkutan berbentuk perusahaan BUMN, maka peningkatan kinerja tadi juga akan dapat meningkatkan penerimaan negara dari pembagian laba BUMN.
5.      Karena dalam praktik good corporate governance karyawan ditempatkan sebagai salah satu stakeholder yang seharusnya dikelola dengan baik oleh perusahaan, maka motivasi dan kepuasan kerja karyawan juga diperkirakan akan meningkat. Peningkatan ini dalam tahapan selanjutnya tentu akan dapat pula meningkatkan produktivitas dan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap perusahaan.
6.      Dengan      baiknya pelaksanaan  corporate governance, maka  tingkat kepercayaan para stakeholders kepada perusahaan            akan     meningkat sehingga citra positif perusahaan akan naik. Hal ini tentu saja akan dapat menekan biaya      (cost)   yang   timbul sebagai akibat tuntutan para stakeholders kepada perusahaan.
7.      Penerapan corporate governance yang konsisten juga akan meningkatkan kualitas laporan keuangan perusahaan. Manajemen akan cenderung untuk tidak melakukan rekayasa terhadap laporan keuangan, karena adanya kewajiban untuk mematuhi berbagai aturan dan prinsip akuntansi yang berlaku  dan  penyajian  informasi  secara  transparan. 
Dengan berbagai manfaat dan keuntungan yang dapat diberikan oleh penerapan   good corporate   governance sebagaimana   disebutkan   di atas,   wajar  kiranya        semua stakeholders  terutama            para    pelaku usaha   menyadari betapa pentingnya konsep ini bagi pemulihan kondisi usaha.  Seharusnya para pelaku usaha memandang dan menyadari bahwa  good corporate  governance merupakan suatu         kebutuhan yang harus dipenuhi agar mereka dapat      mencapai pertumbuhan yang berkualitas dan berkesinambungan. 
Peranan            penerapan       good    corporate governance sangat penting untuk meningkatkan daya  saing  perusahaan  dalam  kompetisi  pasar global yang sudah ketat sekali. Dengan melalui penerapan good corporate governance perusahaan akan mempunyai kemampuan dan kekuatan dalam menciptakan pertumbuhan maupun perkembangan bisnis sesuai target yang telah direncanakan, (Listianingsih, 2008)
Prinsip-Prinsip Corporate Governance
Meskipun konsep corporate governance telah muncul bersamaan dengan konsep korporasi, namun kesadaran terhadap pentingnya konsep ini baru berkembang secara cepat dalam tahun-tahun yang belakangan ini. Di awal tahun 1990an di Amerika Serikat mulai muncul berbagai inisiatif guna merealisasikan        dan      mengembangkan konsep ini yang  ditandai dengan dipublikasikannya berbagai prinsip good corporate governance oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan diikuti pula dengan penyebarannya dengan bekerjasama dengan Bank Dunia.
                        Prinsip-prinsip dimaksud terdiri dari:             Fairness, Transparency, Accountability, dan Responsibility. Alinea-alinea berikut ini akan membahas prinsip-prinsip dimaksud, apa tujuan dan sasarannya dan langkah-langkah yang harus diambil guna mengaplikasikannya, (Maksum, 2005):
1.         Fairness (Kewajaran/Keadilan)
Prinsip ‘Keadilan atau Kewajaran’ ini dapat diartikan sebagai upaya dan tindakan yang tidak membeda-bedakan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap organisasi atau perusahaan terkait. Dengan konsep korporasi, maka terdapat pemisahan antara pemegang saham atau pemilik dan manajemen yang bertindak sebagai pengelola perusahaan (dalam Agency Theory, pihak pertama disebut sebagai Principal, sedang pihak kedua disebut Agent). Manajemen bertugas untuk mengelola perusahaan guna meningkatkan kesejahteraan para pemilik perusahaan. Namun sejalan dengan sifat-sifat manusia, manajemen     mungkin saja  bertindak  ke arah yang lebih mengutamakan kepentingannya dibandingkan dengan  kepentingan        para pemegang saham.
2.      Transparency (Transparansi)
Dalam prinsip ini, para pemegang saham haruslah diberi kesempatan untuk berperan dalam pengambilan keputusan atas perubahan- perubahan mendasar dalam perusahaan dan dapat memperoleh informasi yang benar,  akurat,  dan  tepat  waktu  mengenai  perusahaan.  Secara  sederhana dapat dikatakan bahwa prinsip ini tidak menghendaki berbagai pihak yang berkepentingan menjadi tersesatkan atau tidak akan membuat kesimpulan atau keputusan yang salah mengenai perusahaan. Dalam praktik, perusahaan seharusnya berkewajiban mengungkapkan berbagai transaksi penting yang berkaitan dengan perusahaan, seperti kontrak kerja yang bernilai tinggi dengan perusahaan lain, risiko-risiko yang dihadapi dan rencana/kebijakan    perusahaan       yang   akan    dijalankan.        
3.      Accountability (Akuntabilitas)
Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan per­tanggungjawaban organnisasi sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. OECD menyatakan bahwa prinsip ini berhubungan dengan tersedianya sistem yang mengendali­kan hubungan antara organ-organ yang ada dalam perusahaan.  Selanjutnya prinsip akuntabilitas ini dapat diterapkan dengan mendorong agar seluruh organ perusahaan me­nyadari tanggung jawab, wewenang, hak, dan kewajiban mereka masing-masing. Corporate governance harus menjamin perlindungan kepada pemegang saham khususnya pemegang saham minoritas dan asing serta pembatasan kekuasaan yang jelas di jajaran direksi.
4.      Responsibility (Pertanggungjawaban)
OECD menyatakan bahwa prinsip tanggung jawab ini menekankan pada adanya sistem yang jelas untuk mengatur mekanisme pertanggungjawaban perusahaan kepada shareholder dan stakeholder. Hal ini dimaksudkan agar tujuan      yang   hendak           dicapai dalam good    corporate governance            dapat direalisasikan,  yaitu  untuk  mengakomodasikan  kepentingan  dari  berbagai pihak yang berkaitan dengan perusahaan seperti  masyarakat, pemerintah, asosiasi bisnis, dan sebagainya.
Keempat prinsip sebagaimana diuraikan di atas, kemudian dijabarkan ke dalam lima aspek utama yang terdiri dari: 1) Hak-hak pemegang saham; 2) Perlakuan yang merata (sama) terhadap para pemegang saham; 3) Peranan pemegang saham yang harus diakui; 4) Pengungkapan yang akurat dan tepat waktu; dan 5) Tanggung jawab dewan. Secara keseluruhan terdapat berbagai pihak yang terkait dalam pelaksanaan good corporate governance yang terdiri dari  pemegang  saham,  investor,  karyawan,  dan  manajer,  pemasok  dan rekanan bisnisnya, masyarakat setempat, pemerintah, institusi bisnis, media, akademisi, dan pesaingnya. Masing-masing pihak ini tentu memainkan peran- peran tertentu dalam aplikasi corporate governance. Dalam hal ini perusahaan harus mampu mengakomodasikan kepentingan        para     pihak (stakeholder) tersebut.

Etika Bisnis
Untuk mencapai keberhasilan dalam jangka panjang, pelaksanaan GCG perlu dilandasi oleh integritas yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan pedoman prilaku (code of conduct) yang dapat menjadi acuan bagi organ perusahaan dan semua karyawan dalam menerapkan nilai-nilai (values) dan etika bisnis sehingga menjadi bagian dari budaya perusahaan.
Secara historis etika sebagai usaha filsafat lahir dari ambruknya tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. Karena pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercayai, para filosof mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi kelakukan manusia. Situasi itu juga berlaku pada zaman sekarang. Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral, (Suseno, 1987).
Dalam konteks yang umum, hubungan bisnis sebenarnya adalah hubungan antar manusia. Bisnis adalah suatu interaksi yang terjadi akibat adanya kebutuhan yang tidak dapat diperoleh sendiri oleh individu. Ini menunjukkan bahwa meskipun manusia dikaruniai banyak kelebihan (akal, perasaan dan naluri), dalam kenyataannya banyak memiliki kekurangan. Kekurangan   itu   makin   dirasakan   justru   ketika   akal,   perasaan,   dan   naluri   menuntut peningkatan kebutuhan-kebutuhan. Akibatnya, kebutuhan manusia kian berkembang dan kompleks sehingga tak terbatas. Melalui interaksi bisnis inilah manusia saling melengkapi pemenuhan kebutuhan satu sama lain, Panuju (1985).
Etika harus dibedakan antara etika dalam bisnis (ethics in business) dan etika bisnis (ethics of business). Kedua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Etika dalam bisnis terkait dengan etika yang bersinggungan dengan bisnis sedangkan etika bisnis terkait dengan etika pada umumnya. Dalam dunia perbankan misalnya, etika dalam bisnis harus dinilai sesuai dengan perspektif profit maximisation sebagai filosofi yang mendasari perbankan tanpa memperhatikan apakah etika tersebut sesuai dengan etika umum,  Chatterjee, (1996)
Nilai-nilai dasar yang menjadi tolak ukur etika bisnis adalah tingkah laku para pengusaha dalam menjalankan usahanya. Apakah dalam usahanya mengambil keuntungan dari masyarakat konsumen dilakukan melalui persaingan usaha yang fair (jujur), transparent (terbuka),  dan  ethic  (etis).  Perbuatan  yang  termasuk  dalam  kategori  unethical  conduct misalnya memberikan informasi yang tidak benar mengenai bahan mentah, karakteristik/ciri dan mutu suatu produk, menyembunyikan harta kekayaan perusahaan yang sebenarnya untuk menghindari atau mengurangi pajak, membayar upah karyawan di bawah UMR, melakukan persekongkolan tender, dan melakukan persaingan tidak sehat.
Dalam kenyataannya, sangatlah tidak mungkin ada suatu ethical code dalam bisnis. Di satu pihak kita telah terbiasa secara keliru menganggap bahwa kegiatan bisnis sebagai permainan tipu menipu, tetapi di lain pihak para pelaku usaha itu sendiri sering menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak baik. Karena itu, sebenarnya secara tanpa sadar kita semua mengakui secara diam-diam bahwa perlu ada suatu etika bisnis.
Pada dasarnya, bisnis perlu dijalankan secara etis, karena bagaimana pun juga bisnis menyangkut tentang kepentingan siapa saja dalam masyarakat. Entah dia berperan sebagai penjual, produsen, pembeli, perantara, dan apa pun perannya, hampir semuanya tersangkut dalam bisnis ini. Hal itu berarti bahwa kita semua, berdasarkan kepentingan kita masing- masing, menghendaki adanya agar bisnis itu berjalan dengan baik. Oleh karena itu, kita semua menghendaki agar bisnis dijalankan secara etis sehingga tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain.
Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia pada umumnya. Demikian pula, prinsip-prinsip itu sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat masing-masing. Namun, sebagai etika khusus atau etika terapan, prinsip-prinsip dalam etika bisnis sesungguhnya adalah penerapan dari prinsip etika pada umumnya. Dan karena itu, tanpa melupakan kekhasan sistem nilai dari setiap masyarakat bisnis, di sini akan dikemukakan beberapa prinsip etika bisnis, (Keraf 2007), yaitu:
1.   Prinsip Otonomi
Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Orang yang otonom adalah orang yang sadar sepenuhnya akan apa yang menjadi kewajibannya dalam dunia bisnis. Dalam kerangka etika, kebebasan adalah syarat yang harus ada agar manusia bisa bertindak secara etis. Hanya karena ia mempunyai kebebasan maka ia dituntut untuk bertindak secara etis.
2.   Prinsip Kejujuran
Dalam dunia bisnis kejujuran menemukan wujudnya dalam tiga aspek, yaitu: Pertama, kejujuran terwujud dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran menemukan wujudnya dalam penawaran barang dan jasa dengan mutu yang baik. Ketiga, kejujuran menyangkut pula hubungan kerja dalam perusahaan. Dalam ketiga aspek wujud kejujuran tadi terkait dengan erat dengan kepercayaan, karena kepercayaan yang   dibangun di atas     prinsip kejujuran    merupakan modal dasar usaha   yang akan          mengalirkan       keuntungan             yang  berlimpah.      Keuntungan   merupakan       simbol kepercayaan dan tanda terima kasih masyarakat dan mitra bisnis atas kejujuran kegiatan bisnis.
3.      Prinsip Tidak Berbuat Jahat (non-maleficence) dan Prinsip Berbuat Baik (beneficence)
Perwujudan kedua prinsip ini mengambil dua bentuk. Pertama, prinsip berbuat baik menuntut agar secara aktif dan maksimal kita semua berbuat hal yang baik bagi orang lain. Kedua dalam wujudnya yang minimal dan pasif, sikap ini menuntut agar kita tidak berbuat jahat kepada orang lain. Maksud dari kedua prinsip di atas adalah bahwa secara maksimal orang bisnis dituntut untuk melakukan kegiatan yang menguntungkan bagi orang lain (atau lebih tepat, saling menguntungkan), tapi kalau situasinya tidak memungkinkan, maka titik batas yang masih ditoleransi adalah tindakan yang tidak merugikan pihak lain.
4.   Prinsip Keadilan
Prinsip ini menuntut agar kita memperlakukan orang lain sesuai dengan haknya. Hak orang lain perlu dihargai dan jangan sampai dilanggar, persis seperti kita pun mengharapkan agar hak kita dihargai dan tidak dilanggar. Prinsip ini mengatur agar kita bertindak sedemikian rupa sehingga hak semua orang terlaksana secara kurang lebih sama sesuai dengan apa yang menjadi haknya tanpa saling merugikan.
5.   Prinsip Hormat Kepada Diri Sendiri
Prinsip ini bukan bersifat egoistis, melainkan ingin menunjukkan bahwa tidak etis jika kita membiarkan diri kita diperlakukan secara tidak adil, tidak jujur, ditindas, diperas dan sebagainya. Jadi, sebagaimana kita sepantasnya tidak boleh memperlakukan orang lain secara tidak adil, tidak jujur dan sebagainya, kita pun berhak untuk memperlakukan diri kita dan diperlakukan secara baik. Kita wajib membela dan mempertahankan kehormatan diri kita, jika martabat kita sebagai manusia dilanggar.
            Agar penerapan GCG tidak hanya dalam wacana konsep, maka penerapan prinsip-prinsip GCG harus didukung oleh dimensi moral dan nilai-nilai etis.  Prinsip-prinsip etika bisnis kemudian diaplikasikan dalam tingkah laku berbisnis diperusahaan, yang merupakan bagian penting dari kerangkan kerja (framework) GCG perusahaan dan memberikan acuan dalam merumuskan  kebijakan, sistem dan prosedur, atau instruksi kerja. Penerapan etika bisnis merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan dan memajukan reputasi perusahaan sebagai karyawan dan pimpinan perusahaan yang bertanggung jawab, dimana pada akhirnya akan memaksimalkan kepentingan stakeholder.
Peran Akuntansi Dalam Penerapan Good Corporate Governance
Berikut ini akan dibahas bagaimana peran akuntansi dalam mendukung aplikasi good corporate governance. Pemakai informasi yang dihasilkan oleh akuntansi dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok:  pemakai eksternal dan pemakai    internal. Dalam berbagai literatur akuntansi (misalnya: Garrison dan Noreen 2003) dikenal  dua  bidang  akuntansi,  yaitu  Akuntansi  Keuangan (Financial Accounting) dan Akuntansi Manajemen (Management Accounting). Para pemakai eksternal akan menggunakan informasi yang dihasilkan oleh bidang akuntansi keuangan, sementara pemakai internal akan menggunakan terutama informasi yang dihasilkan            dari bidang akuntansi manajemen.
1.      Bidang Akuntansi Keuangan
Salah satu prinsip GCG yaitu prinsip    transparansi     , prinsip ini  menginginkan      agar    para    stakeholder memperoleh informasi yang cukup, benar, akurat, dan tepat waktu sehingga dalam pengambilan keputusan terkait dengan laporan keuangan tidak disesatkan. Laporan keuangan  sebagaimana diatur  oleh  standar akuntansi  haruslah  menyajikan informasi sesuai dengan apa adanya, tanpa ada upaya untuk menutup-nutupi segala sesuatu yang seharusnya diungkapkan. Hal ini diatur dalam SAK yang secara jelas menetapkan berbagai karakteristik kualitatif yang harus dipenuhi oleh laporan keuangan. Karakteristik itu terdiri dari dapat dipahami, relevan, andal, dan dapat dibandingkan. Pemenuhan terhadap keempat karakteristik di atas akan menjadikan laporan keuangan itu mengandung informasi yang tidak menyesatkan bagi pemakainya. Selain itu, pengertian dasar laporan keuangan itu tidaklah hanya sebatas laporan keuangan saja, melainkan meliputi pula catatan atas laporan keuangan yang secara keseluruhan akan menggambarkan secara  lengkap  kondisi  keuangan,  hasil  usaha  dan  segala  sesuatu  yang berkaitan dengan keuangan perusahaan.
Meskipun di dalam standar akuntansi terdapat kemungkinan perusahaan mengganti metode            akuntansi            yang    digunakan       (misalnya         metode  dalam penilaian persediaan, penyusutan harta tetap), tetapi standar akuntansi mewajibkan adanya penggunaan sesuatu metode atau teknik serta prinsip secara konsisten. Kalaupun dilakukan pergantian, pengaruhnya wajib untuk dijelaskan. Ketentuan ini jelas akan membuat laporan keuangan menjadi lebih bermutu dan bermanfaat karena para pemakainya dapat mengukur dan memperbandingkan            kondisi           dan      perkembangan             keuangan serta kinerja perusahaan     dari     waktu  ke       waktu.             Uraian            pada   alinea ini dan alinea sebelumnya jelas mendukung terpenuhinya prinsip transparansi dari good corporate governance.
Prinsip “Adil” dalam good corporate governance menuntut adanya perlakuan yang adil kepada semua pihak terkait, terutama pemegang saham minoritas. Penegakan atas prinsip ini tentu lebih banyak ditentukan oleh peraturan dan norma yang tersedia serta perilaku berbagai pihak, terutama manajemen. Sedikit yang dapat disumbangkan oleh akuntansi dalam hal ini, adalah bahwa akuntansi itu bersifat netral dan independen. Sikap netral dan independen ini berlaku secara keseluruhan, tidak hanya secara teori tetapi juga            harus    tercermin         dalam  sikap   dan      perilaku          para     akuntan           dalam kehidupannya. Hal ini diatur dalam kode etik akuntan. Dengan demikian informasi yang disiapkan melalui proses akuntansi keuangan tidak akan ditujukan untuk lebih menguntungkan bagi golongan pemakai tertentu karena ia tidak dirancang untuk memenuhi kebutuhan salah satu atau beberapa pemakai saja, melainkan dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan umum semua jenis pemakainya. Jadi sikap netral dan independennya akuntansi dan para akuntan akan mendukung terealisasinya good corporate governance.
Salah  satu  prinsip dasar yang dianut dalam akuntansi  adalah  prinsip konsertisme (conservatism) yang menunjukkan sikap kehati-hatian. Prinsip ini mengatur bahwa dalam hal perusahaan berhadapan dengan kejadian- kejadian yang tidak pasti (uncertainty), maka laporan keuangan harus memilih angka dan posisi yang kurang menguntungkan. Perusahaan sudah dapat mencatat sesuatu kerugian yang belum direalisasi tapi sudah ada dasarnya, sementara laba yang sudah ada indikasinya belum boleh dicatat sebelum laba itu direalisasi. Dengan menganut prinsip ini jelas bahwa pelaporan aktiva maupun        laba      yang   ditinggikan (overstated)         atau sebaliknya pelaporan kewajiban dan  biaya atau rugi yang          direndahkan (understated) akan terhindarkan. Para akuntan percaya bahwa dengan menganut prinsip ini para pemakai laporan keuangan kemungkinan kecil akan disesatkan (Schroeder dkk. 2001). Dengan demikian menganut prinsip konservatisme akan mendukung terciptanya good corporate governance.
2.      Bidang Akuntansi Manajemen
Akuntansi manajemen digunakan dalam pengambilan keputusan internal perusahaan,         yaitu    pihak             manajemen perusahaan, secara tidak langsung bidang akuntansi ini diharapkan dapat menciptakan good corporate governance. Penjelasan  berikut ini akan mencoba menggambarkan bagaimana bidang akuntansi manajemen dapat memberikan kontribusinya bagi keberhasilan dan peningkatan aplikasi good corporate governance. Topik-topik terkait meliputi antara lain masalah efisiensi, dukungan dalam proses pengambilan keputusan yang optimal, pengukuran kinerja, perhitungan dan penetapan renumerasi yang wajar, serta penyiapan strategi yang dapat meningkatkan posisi saing dan tentunya juga kinerja perusahaan.
Dalam akuntansi manajemen dikenal sistem pengendalian biaya (cost control systems) yang terdiri dari akuntansi biaya dan manajemen biaya. Akuntansi  biaya  bertujuan  untuk  menghitung  dan  mengalokasikan  biaya kepada produk sehingga harga pokok produk dapat ditetapkan secara benar, akurat dan dalam jumlah yang wajar. Meskipun aspek efisiensi juga ikut menjadi perhatian, namun fokus utama akuntansi biaya ini adalah kepada kandungan biaya (cost containment). Sebaliknya manajemen biaya terarah terutama kepada tujuan untuk menurunkan biaya dan perbaikan yang berkelanjutan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keduanya bertujuan agar perusahaan dapat menghasilkan produk yang efisien dan harga pokoknya telah dihitung secara benar dan akurat sesuai dengan tata cara perhitungan akuntansi biaya. Hal ini jelas akan sangat membantu manajemen dalam mengelola perusahaan secara benar, baik, dan efisien, yang tentunya akan memberikan       kontribusi  yang  berarti  juga  bagi  aplikasi  good  corporate governance.
Dengan tersedianya informasi akuntansi manajemen (terutama informasi biaya) pihak manajemen akan lebih mudah dalam proses pengambilan keputusan.            Semakin baik informasi yang dipersiapkan    oleh     akuntansi manajemen, maka akan semakin baik pula kualitas keputusan yang dibuat manajemen. Keputusan yang terbaik tentunya akan memberikan profit yang optimal bagi perusahaan. Profit yang optimal tentu akan meningkatkan kesejahteraan pemegang saham, manajemen, dan karyawan perusahaan dan jelas sejalan dengan tujuan dari aplikasi good corporate governance.
Pengukuran kinerja sebuah perusahaan secara keseluruhan dan juga kinerja    bagian ataupun            unit-unit            perusahaan     (termasuk        manajernya) merupakan salah satu fungsi penting dalam perusahaan. Pengukuran kinerja ini bertujuan untuk memotivasi manajemen dan karyawan untuk mencapai tujuan perusahaan serta mencegah mereka berperilaku menyimpang dari yang diinginkan guna dapat tercapainya tujuan tadi. Dengan demikian jelas bahwa pengukuran kinerja diharapkan akan memberikan pengaruh positif bagi peningkatan kinerja perusahaan. Hal ini tentu secara tidak langsung akan membantu berhasilnya aplikasi good corporate governance dalam perusahaan. Begitu pula halnya akuntansi manajemen juga berperan dalam analisis dan penentuan besarnya jumlah renumerasi yang wajar bagi manajemen maupun anggota dewan direksi dan dewan komisaris. Akhir-akhir ini dalam akuntansi manajemen berkembang sistem pengukuran kinerja yang tidak hanya terfokus kepada aspek keuangan. Sistem ini dikenal sebagai Balanced Scorecard yang meskipun masih menganggap kinerja keuangan  sebagai  salah  satu  kriteria penting, tetapi sudah mengikut sertakan aspek nonkeuangan sebagai kriteria pengukuran,    seperti  aspek pelanggan,       internal           proses,            dan     aspek pembelajaran dan pertumbuhan.
Keberhasilan sebuah perusahaan dalam memenangkan persaingan dan sekaligus mencapai kinerja yang tinggi sangat ditentukan oleh apa dan bagaimana strategi yang digunakannya. Strategi merupakan langkah-langkah tindakan guna mewujudkan tujuan dan misi perusahaan. Dua   strategi   yang   utama          terdiri             atas   product                        differentiation             dan     cost        leadership.  Differentiation adalah strategi berupa penciptaan dan pemeliharaan produk yang unik menurut persepsi konsumen, sementara cost leadership adalah strategi untuk menghasilkan produk berkualitas dengan biaya yang termurah. Untuk dapat menjalankan strategi-strategi ini, akuntansi manajemen amat berperan        dalam              penyediaan      informasi         yang    diperlukan.            Jadi,     dapat disimpulkan  bahwa  akuntansi  manajemen—meskipun  tidak  terlihat  secara langsung juga            ikut      membantu       memberhasilkan          aplikasi            good    corporate governance.
Peranan Akuntan Dalam Penerapan Good Corporate Governance
Untuk dapat mengembangkan dan menerapkan  GCG dibutuhkan peran akuntan, baik sebagai  akuntan  perusahaan  maupun  sebagai  praktisi  accounting  dan  auditing  baik  secara internal  maupun  sebagai  eksternal  auditor.  Untuk  membuktikan  bahwa  perusahaan  sudah menjalankan GCG maka perlu dilakukan penilaian oleh pihak ketiga yang independen terhadap praktek corporate governance. Pihak ketiga independen tersebut adalah akuntan manajemen dan akuntan publik,  (Herdinata, 2008).
 Akuntan manajemen dengan berlandaskan pada etika bisnis dan profesi dapat memberikan saran sesuai dengan fungsi dari akuntansi manajemen yaitu  masalah efisiensi, dukungan dalam proses pengambilan keputusan yang optimal, pengukuran kinerja, perhitungan dan penetapan renumerasi yang wajar, serta penyiapan strategi yang dapat meningkatkan posisi saing dan tentunya juga kinerja perusahaan. Selain itu pula akuntan manajemen dapat memberikan bantuan kepada direksi dan dewan komisaris menyusun dan mengimlementasikan kriteria GCG di perusahaan, membantu menyediakan data keuangan dan operasi serta data lain yang dapat dipercayai, accountable, akurat, tepat waktu, obyektif,  dan  relevan.  Selain            itu,  akuntan  manajemen  membantu  direksi  menyusun  dan mengimplementasikan struktur pengendalian intern.
Akuntan publik sebagai pihak luar yang independen dituntut menjunjung tinggi kode etik profesi akuntan publik. Dalam Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia ditetapkan delapan prinsip etika yang meliputi tanggung jawab profesi, kepentingan umum, integritas, obyektivitas, kompetensi  dan  kehati-hatian  professional,  kerahasiaan,  perilaku  professional,  dan  standar teknis. Akuntan publik melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan klien, apakah menyajikan secara wajar dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang diterima umum (generally accounting   accepted   principle). Laporan   auditor   akan   digunakan   berbagai   pihak   yang berkepentingan dengan perusahaan untuk mengambil keputusan ekonomi, untuk itu auditor dituntut bersikap independen. Sikap independensi inilah yang diperlukan sesuai dengan fungsi akuntan publik dalam  mendukung penerapan good corporate governance.
KESIMPULAN
Penerapan GCG yang hanya sebatas wacana konsep dan jauh dari esensinya, dapat mengakibatkan kejatuhan bagi sebuah perusahaan,  karena sebagus apapun sistem yang berlaku diperusahaan, apabila karyawan atau manajemen berprilaku menyimpang dan melanggar etika bisnis dan profesi maka dapat terjadi praktek fraud yang sangat merugikan perusahaan dan dapat berakhir dengan kebangkrutan. Penerapkan  GCG dibutuhkan peran akuntan, baik sebagai  akuntan  perusahaan  maupun  sebagai  praktisi  accounting  dan  auditing  baik  secara internal  maupun  sebagai  eksternal  auditor. Akuntan manajemen dengan berlandaskan pada etika bisnis dan profesi dapat memberikan saran sesuai dengan fungsi dari akuntansi manajemen. Akuntan publik sebagai pihak luar yang independen dituntut menjunjung tinggi kode etik profesi akuntan publik. Dalam Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia ditetapkan delapan prinsip etika yang meliputi tanggung jawab profesi, kepentingan umum, integritas, obyektivitas, kompetensi  dan  kehati-hatian  professional,  kerahasiaan,  perilaku  professional,  dan  standar teknis. Akuntan publik melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan klien, apakah menyajikan secara wajar dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang diterima umum (generally accounting   accepted   principle).
REFERENSI
Adipranata, Daniel. 2008.  Merajalelanya Keserakahan. http:www.cetak.kompas.com
Alijoyo, F. A., dan Zaini, S., 2004. Komisaris Independen, Penggerak Praktik GCG di Perusahaan, PT Indeks.

Azhar Maksum, 2005. Tinjauan Atas Good Corporate Governance. Pidato  Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Akuntansi Manajemen Pada Fakultas Ekonomi. Diucapkan Di Hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara Indonesia.

Chatterjee,  Charles. 1996. The  Corporate  Social  Responsibility  of  Banks. International  Company  and Commercial Law Review, 7 (11).


Garrison, R. H., dan Noreen, E. W., (2003), Managerial Accounting, Tenth Edition, McGraw-Hill.

Herdinata Christian, 2008. Good Corporate Governance VS Bad Corporate Governance: Pemenuhan Kepentingan Antara Para Pemegang Saham Mayoritas dan Pemegang Saham Minoritas. The2nd National Conference UKWS, Surabaya, 6 September.
Keraf A. Sony. 2007. Etika Bisnis, edisi baru, Pustaka Filsafat, Kanisius, Yogyakarta
Lestariningsih. 2008. Peranan Penerapan Good Corporate Governance Dalam Pengembangan Perusahaan Publik. Jurnal Spirit Publik. Volume 4, Nomor 2 Halaman: 113 122
Ludigdo, Unti. 2007. Etika Paradoks. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Panuju Redi.  1995. Etika Bisnis, PT Grasindo, Jakarta

Schroeder, R. G., et al (2001), Financial Accounting Theory and Analysis, John Wiley & Sons, Inc.

Solomon,         J.,         dan      Solomon,        A.        (2004), Corporate        Governance     and Accountability, John Wiley & Sons, Ltd.

Suseno,  Franz, Magniz. 1987. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral”, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Tjager, I. N., Alijoyo, F. A., Djemat, H. R., dan Soembodo, B., (2003), Corporate Governance, Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas Bisnis Indonesia, PT Prenhallindo.

Yustiavandana, Ivan dan Surya, Indra. 2006. Good Corporate Governance: Mengesampingkan Hak-hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha. Lembaga Kajian Pasar Modal dan Keuangan (LKPMK) Fakultas Hukum Indonesia.

Zarkasyi, H. Moh. Wahyudin. 2008. Good Corporate Governance. Alfabeta Bandung.