Oleh:
Herman Darwis
ABSTRAK
Penerapan
GCG yang hanya sebatas wacana konsep dan jauh dari esensinya, dapat
mengakibatkan kejatuhan bagi sebuah perusahaan. untuk dapat menerapkan GCG
dengan baik, maka etika bisnis dan profesi
harus diperhatikan oleh manajemen dan karyawan dalam melakukan
praktik-praktik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang dilaksanakan atas
nama perusahaan. Penerapkan
GCG dibutuhkan peran akuntan, baik sebagai akuntan perusahaan
maupun sebagai praktisi
accounting
dan auditing
baik secara
internal maupun
sebagai
eksternal auditor. Akuntan manajemen
dengan berlandaskan pada etika bisnis dan profesi dapat memberikan saran sesuai
dengan fungsi dari akuntansi manajemen yaitu
masalah efisiensi,
dukungan dalam proses pengambilan
keputusan yang optimal,
pengukuran kinerja, perhitungan dan penetapan renumerasi yang wajar, serta penyiapan strategi yang dapat meningkatkan posisi saing dan tentunya juga kinerja
perusahaan. Akuntan publik sebagai pihak luar yang
independen dituntut
menjunjung tinggi kode etik
profesi akuntan publik. Dalam Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia ditetapkan delapan prinsip
etika yang meliputi tanggung jawab profesi, kepentingan umum, integritas, obyektivitas, kompetensi dan kehati-hatian professional, kerahasiaan,
perilaku professional,
dan standar
teknis.
KeyWord: Etika Bisnis, Peran Akuntan, Good
Corporate governance
Konsep corporate
governance yang komprehensif mulai berkembang sejak kejadian the New York
Stock Exchange crash. Pada 19 Oktober 1987, di mana banyak perusahaan
multinasional yang tercatat di Bursa Efek New York, mengalami kerugian
finansial yang cukup besar, (Zarkasyi, 2008). Untuk mengantisipasi permasalahan
pengendalian internal perusahaan banyak kasus tentang rekayasa keuangan,
bagaimana menyembunyikan kerugian atau memperindah penampilan kinerja manajemen
dan laporan keuangan melalui window
dressing atau financial engineering.
Umumnya pada situasi bisnis kondusif penyimpangan dalam perusahaan terlihat
sangat kabur namun pada saat kesulitan mulai terungkap kerugian dan kepailitan
perusahaan.
Rekayasa keuangan ini dilakukan oleh
beberapa perusahaan yang mengakibatkan kebangkrutan perusahaan-perusahaan
tersebut, sebut saja misalnya: skandal penipuan keuangan besar: skandal Long
Term Capital Management, Enron pada tahun 2001, Lehman Brothers pada September
2008, dan Madoff Investment Securities (Adipranata, 2008). Intensitas skandal yang
terjadi ini semakin menunjukkan bahwa permasalahan utama bukan hanya masalah
kecelakaan bisnis tetapi merupakan penipuan akuntansi yang sistemik. Hal ini
mengingatkan kepada kita bahwa skandal tersebut terjadi di negara yang
mengagungkan princip Good Corporate
Governance (GCG).
Di Indonesia berbagai kasus pelanggaran
GCG, misalnya: kasus PT. Kopitime Dot Com Tbk, tahun 2001, PT. Central Korporindo International Tbk
tahun 2001, PT. Jakarta International Hotels & Develompment Tbk 2002, PT.
Bank Lippo Tbk tahun 2002, Bank BNI 46 tahun 2003, (Yustiavandana dan Surya,
2006). Pelaksanaan GCG pada perusahaan-perusahaan tersebut hanya sebatas wacana
konsep dan jauh dari esensinya. Penerapan GCG hanya mengandalkan kepercayaan
terhadap manusia sebagai pelaku bisnis dengan mengesampingkan aspek dimensi
moral. Padahal sebagus apapun sistem yang berlaku diperusahaan, apabila
karyawan atau manajemen berprilaku menyimpang dan melanggar etika bisnis dan
profesi maka dapat terjadi praktek fraud
yang sangat merugikan perusahaan dan dapat berakhir dengan kebangkrutan.
Seperti dikatakan oleh Ludigdo (2007) bahwa Etika tidak sekedar ada, namun
etika haruslah merupakan kesadaran dan kesengajaan untuk selalu bermaksud dan
berbuat baik. Etika harus merupakan program nyata organisasi, bukan sekedar live service dan bahan iklan organisasi.
Oleh karena itu untuk dapat menerapkan GCG
dengan baik, maka etika bisnis dan profesi harus diperhatikan oleh manajemen dan karyawan
dalam melakukan praktik-praktik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang
dilaksanakan atas nama perusahaan. Tak
dapat dipungkiri bahwa praktek-praktek window
dressing atau financial engineering
melibatkan para akuntan. Untuk itu akuntan perlu melakukan introspeksi diri
terhadap kekurangan-kekurangan apa yang masih melekat pada profesi yang
dijalaninya. Profesi akuntan yang selama ini ikut serta mewujudkan good governance, seyogyanya memilih
prosedur dan kebijakan akuntansi berdasarkan etika bisnis dan profesi sehingga
penerapan GCG sesuai yang diharapkan. Tulisan ini mengulas tentang konsep dan
manfaat GCG, etika bisnis, serta peran ilmu
akuntansi dan akuntan dalam penerapan GCG.
PEMBAHASAN
Konsep
Good Corporate Governance
Meskipun konsep corporate governance itu telah muncul
bersamaan dengan timbulnya konsep mengenai korporasi, namun sebahagian
besar ahli (antara lain Tjager dkk. 2003; Alijoyo dan Zaini 2004) berpendapat bahwa konsep ini belum tersosialisasi dengan baik sehingga belum
terdapat pemahaman yang benar dan mendalam
dan begitu juga manfaatnya, maka
dirasa perlu untuk membahas
secara singkat mengenai konsepsi dan
manfaatnya. Selain itu masih banyak
perusahaan, yang meskipun sudah beroperasi di pasar modal, menganggap
bahwa good corporate
governance itu hanya sebagai
aksesoris belaka dan bukannya
sebagai suatu kebutuhan mendasarkan guna
mencapai sukses dalam menjalankan
roda bisnisnya.
Terdapat berbagai
definisi yang dikemukakan oleh
para ahli maupun lembaga-lembaga
yang sangat concern pada isu ini, sehingga
tidak terdapat satu definisi
tunggal yang berterima (Solomon
& Solomon 2004). Hasil survai yang dilakukan Solomon dkk. (2000) menunjukkan bahwa definisi yang
diberikan oleh Parkinson (1994) dalam
Maksum (2005) yang paling banyak
diterima menyatakan bahwa corporate
governance adalah proses supervisi dan pengendalian
yang
dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa manajemen perusahaan bertindak
sejalan dengan kepentingan para pemegang saham (shareholders). Cadbury Committee (1992)
dalam Maksum (2005) mengemukakan bahwa corporate governance diartikan
sebagai system
yang berfungsi untuk mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan.
Sementara Forum
of Corporate Governance for
Indonesia-FCGI (2001) dalam Maksum (2005) mengemukakan bahwa corporate governance
adalah seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan (dengan kata lain sebagai sistem yang mengendalikan perusahaan) antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah,
karyawan serta pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan
dengan hak-hak dan kewajiban mereka.
Dari
beberapa definisi
yang dikemukakan
di atas
dapat disimpulkan bahwa corporate governance
itu adalah suatu sistem yang dibangun
untuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan sehingga tercipta
tata hubungan yang baik, adil dan transparan di antara berbagai yang berkepentingan (stakeholder) dalam perusahaan. Pihak-pihak yang
berkepentingan terdiri atas pihak internal
dan eksternal, yang meliputi:
a. Pihak
internal, yaitu pihak internal terdiri dari direktur, para pekerja dan manajemen
akan menerima gaji dan imbalan
lainnya dalam jumlah
yang wajar
b. Pihak
eksternal, yaitu pemegang saham, kreditur
dan lain-lain. Para pemegang saham seharusnya menerima
pengembalian (return)
atas modal yang mereka investasikan. Kreditur akan memperoleh
pelunasan atas pinjaman yang mereka berikan beserta
bunganya; begitu juga
halnya dengan pelanggan, mereka akan dapat
memperoleh barang ataupun jasa yang ditawarkan perusahaan dengan harga
yang wajar dan sebanding
dengan uang yang mereka korbankan
saat membeli; pemasok akan menerima pembayaran atas barang atau jasa yang mereka
serahkan kepada perusahaan dan bahkan
masyarakat sekitarnya pun diharapkan
akan memperoleh kontribusi sosial atau bentuk-bentuk manfaat yang lainnya.
Tata hubungan yang sedemikian itulah yang ingin
diwujudkan oleh corporate governance. Sebenarnya konsep corporate governance bukanlah sesuatu yang baru,
karena konsep ini telah ada
dan berkembang sejak konsep korporasi mulai
diperkenalkan di Inggeris di sekitar
pertengahan abad
XIX (Solomon
&
Solomon, 2004). Teori korporasi
pertama yang dikatakan sebagai teori induk dari
berbagai teori mengenai korporasi
adalah Equity Theory. Teori ini kemudian menurunkan berbagai teori lainnya, antara Entity Theory yang
kemudian menurunkan pula Agency
Theory yang menjelaskan bagaimana
hubungan kontraktual antara pihak pemilik
perusahaan (principal) yang mendelegasikan pengambilan keputusan tertentu guna meningkatkan kesejahteraannya dengan pihak manajemen/pengelola
(agent) yang menerima pendelegasian tersebut. Agency Theory inilah yang kemudian
memberikan landasan model teoritis yang sangat berpengaruh terhadap konsep good
corporate governance di
berbagai perusahaan di seluruh dunia. Kemudian
konsep ini menjadi sangat populer dan bahkan dapat dikatakan
telah menjadi isu sentral bagi kalangan pelaku usaha, pemerintah dan
juga pihak-pihak lainnya.
Manfaat Good Corporate Governance
Kasus bangkrutnya
perusahaan Enron Corporation
di
Amerika Serikat telah memberikan pelajaran penting terutama bagi para pelaku bisnis untuk
lebih berhati-hati dalam melakukan investasi. Bentuk kehati-hatian
yang dimaksud digambarkan dengan dimasukkannya
syarat-syarat pelaksanaan corporate governance pada perusahaan-perusahaan yang
didanai oleh lembaga-lembaga
keuangan berskala besar, seperti
CaIPERS. Begitu juga, dana-dana internasional tidak diizinkan
untuk diinvestasikan ke negara-negara
yang standar corporate governance nya
rendah. Penerapan corporate governance, tidak hanya kepentingan
para investor saja yang dilindungi,
melainkan juga akan dapat mendatangkan banyak manfaat dan keuntungan bagi perusahaan terkait
dan juga pihak-pihak lain yang mempunyai hubungan langsung maupun tidak
langsung dengan perusahaan.
Menurut
Maksum (2005) bahwa keuntungan yang diperoleh dengan penerapan corporate
governance dapat disebut
antara lain,
1. Dengan
good corporate governance proses pengambilan keputusan
akan berlangsung secara lebih baik sehingga
akan menghasilkan keputusan yang
optimal, dapat meningkatkan
efisiensi serta terciptanya budaya kerja yang
lebih sehat. Ketiga hal ini jelas
akan sangat berpengaruh
positif terhadap kinerja perusahaan,
sehingga kinerja perusahaa akan mengalami peningkatan.
2. Good corporate governance akan
memungkinkan
dihindarinya atau sekurang-kurangnya dapat
diminimalkannya tindakan
penyalahgunaan wewenang oleh pihak direksi dalam pengelolaan perusahaan. Hal
ini tentu akan menekan kemungkinan
kerugian bagi perusahaan maupun pihak berkepentingan lainnya sebagai akibat
tindakan tersebut.
3. Nilai perusahaan
di mata investor akan meningkat
sebagai akibat dari
meningkatnya kepercayaan mereka
kepada pengelolaan perusahaan tempat mereka berinvestasi. Peningkatan kepercayaan investor kepada perusahaan akan
dapat memudahkan perusahaan mengakses tambahan dana yang diperlukan untuk
berbagai keperluan
perusahaan, terutama untuk tujuan ekspansi.
4. Bagi para pemegang saham,
dengan peningkatan kinerja
sebagaimana disebut pada poin
1, dengan sendirinya juga akan menaikkan nilai
saham mereka dan juga nilai dividen yang akan mereka terima. Bagi negara, hal
ini juga akan menaikkan jumlah pajak yang akan dibayarkan oleh perusahaan yang berarti akan terjadi peningkatan penerimaan
negara dari sektor pajak. Apalagi bila perusahaan yang
bersangkutan berbentuk perusahaan BUMN,
maka peningkatan kinerja tadi juga akan dapat meningkatkan penerimaan negara
dari pembagian laba BUMN.
5. Karena dalam praktik
good corporate governance karyawan ditempatkan sebagai salah satu stakeholder yang
seharusnya dikelola dengan baik oleh perusahaan, maka motivasi
dan kepuasan kerja karyawan juga
diperkirakan akan meningkat. Peningkatan
ini
dalam tahapan selanjutnya tentu akan
dapat pula meningkatkan produktivitas dan rasa
memiliki (sense of belonging) terhadap perusahaan.
6. Dengan baiknya pelaksanaan corporate
governance, maka tingkat kepercayaan para stakeholders
kepada perusahaan akan
meningkat sehingga citra positif
perusahaan akan naik. Hal ini tentu saja akan
dapat menekan biaya (cost) yang timbul sebagai akibat tuntutan para stakeholders
kepada perusahaan.
7. Penerapan
corporate governance yang konsisten juga akan meningkatkan kualitas laporan keuangan perusahaan.
Manajemen akan cenderung untuk tidak melakukan rekayasa terhadap laporan keuangan,
karena adanya kewajiban untuk mematuhi berbagai aturan dan prinsip
akuntansi yang berlaku dan penyajian
informasi secara
transparan.
Dengan berbagai manfaat dan keuntungan yang dapat diberikan oleh penerapan good corporate governance sebagaimana disebutkan di atas, wajar
kiranya
semua stakeholders
terutama para pelaku
usaha
menyadari betapa pentingnya konsep ini
bagi pemulihan kondisi usaha. Seharusnya para pelaku usaha memandang dan menyadari
bahwa good corporate
governance merupakan
suatu kebutuhan yang harus dipenuhi
agar mereka dapat mencapai pertumbuhan yang
berkualitas dan berkesinambungan.
Peranan penerapan good corporate governance sangat penting
untuk meningkatkan
daya saing perusahaan dalam kompetisi pasar
global yang
sudah ketat sekali.
Dengan melalui penerapan
good corporate governance perusahaan akan mempunyai kemampuan dan kekuatan dalam menciptakan pertumbuhan maupun
perkembangan
bisnis sesuai target yang telah
direncanakan,
(Listianingsih, 2008)
Prinsip-Prinsip Corporate Governance
Meskipun konsep corporate
governance telah muncul bersamaan
dengan konsep korporasi, namun kesadaran terhadap pentingnya konsep ini baru
berkembang secara cepat dalam tahun-tahun yang belakangan ini. Di awal
tahun 1990an di Amerika Serikat mulai muncul berbagai inisiatif
guna merealisasikan dan mengembangkan konsep ini yang ditandai dengan dipublikasikannya berbagai prinsip good
corporate governance oleh
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan diikuti pula dengan penyebarannya dengan
bekerjasama dengan Bank Dunia.
Prinsip-prinsip dimaksud terdiri dari: Fairness, Transparency, Accountability, dan Responsibility. Alinea-alinea
berikut ini akan membahas
prinsip-prinsip dimaksud, apa
tujuan dan sasarannya dan langkah-langkah yang harus diambil guna mengaplikasikannya, (Maksum, 2005):
1.
Fairness (Kewajaran/Keadilan)
Prinsip ‘Keadilan atau Kewajaran’ ini dapat
diartikan sebagai upaya dan tindakan yang tidak membeda-bedakan semua
pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap organisasi atau perusahaan
terkait. Dengan konsep korporasi, maka terdapat pemisahan antara
pemegang saham atau pemilik dan manajemen yang bertindak sebagai pengelola
perusahaan (dalam Agency Theory,
pihak pertama disebut sebagai Principal,
sedang pihak kedua disebut Agent). Manajemen bertugas untuk mengelola perusahaan
guna meningkatkan kesejahteraan para pemilik
perusahaan. Namun sejalan dengan sifat-sifat manusia, manajemen mungkin saja bertindak
ke
arah yang lebih mengutamakan kepentingannya dibandingkan dengan kepentingan para pemegang saham.
2. Transparency
(Transparansi)
Dalam prinsip ini, para pemegang saham haruslah
diberi
kesempatan untuk berperan dalam pengambilan
keputusan atas perubahan- perubahan mendasar dalam perusahaan dan dapat memperoleh
informasi yang benar, akurat, dan tepat waktu mengenai
perusahaan. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa prinsip ini tidak menghendaki berbagai
pihak yang berkepentingan menjadi
tersesatkan atau tidak akan membuat
kesimpulan atau keputusan yang salah mengenai perusahaan.
Dalam praktik, perusahaan seharusnya berkewajiban mengungkapkan berbagai transaksi penting yang berkaitan dengan perusahaan, seperti kontrak kerja yang bernilai tinggi dengan
perusahaan lain, risiko-risiko yang dihadapi dan rencana/kebijakan perusahaan yang
akan dijalankan.
3. Accountability
(Akuntabilitas)
Akuntabilitas dapat diartikan
sebagai kejelasan fungsi, pelaksanaan,
dan pertanggungjawaban organnisasi
sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
OECD menyatakan bahwa prinsip ini berhubungan
dengan tersedianya sistem yang mengendalikan hubungan
antara organ-organ yang
ada dalam perusahaan. Selanjutnya prinsip akuntabilitas ini dapat diterapkan dengan mendorong
agar seluruh organ perusahaan menyadari tanggung jawab, wewenang, hak, dan kewajiban mereka masing-masing. Corporate
governance harus menjamin
perlindungan kepada pemegang saham khususnya
pemegang saham minoritas dan asing
serta pembatasan kekuasaan yang jelas
di jajaran direksi.
4. Responsibility (Pertanggungjawaban)
OECD menyatakan bahwa prinsip tanggung jawab
ini menekankan pada adanya sistem
yang jelas untuk mengatur mekanisme pertanggungjawaban perusahaan kepada shareholder dan stakeholder. Hal ini dimaksudkan agar tujuan
yang
hendak dicapai dalam good corporate governance dapat
direalisasikan, yaitu untuk mengakomodasikan kepentingan
dari berbagai pihak yang berkaitan dengan perusahaan seperti
masyarakat, pemerintah,
asosiasi bisnis, dan sebagainya.
Keempat prinsip
sebagaimana diuraikan
di atas, kemudian dijabarkan ke
dalam lima aspek utama yang terdiri dari: 1) Hak-hak pemegang saham; 2)
Perlakuan yang merata (sama) terhadap
para pemegang saham; 3) Peranan
pemegang saham yang harus diakui; 4)
Pengungkapan yang akurat dan tepat waktu; dan 5) Tanggung jawab dewan. Secara keseluruhan
terdapat berbagai pihak yang terkait dalam pelaksanaan good corporate governance yang terdiri dari pemegang saham,
investor, karyawan, dan
manajer, pemasok dan
rekanan bisnisnya, masyarakat setempat, pemerintah, institusi bisnis, media, akademisi, dan pesaingnya. Masing-masing pihak ini tentu memainkan peran-
peran tertentu dalam aplikasi corporate governance. Dalam hal ini perusahaan harus mampu mengakomodasikan kepentingan para pihak (stakeholder)
tersebut.
Etika Bisnis
Untuk
mencapai keberhasilan dalam jangka panjang, pelaksanaan GCG perlu dilandasi
oleh integritas yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan pedoman prilaku (code of conduct) yang dapat menjadi acuan
bagi organ perusahaan dan semua karyawan dalam menerapkan nilai-nilai (values) dan etika bisnis sehingga
menjadi bagian dari budaya perusahaan.
Secara historis etika sebagai usaha filsafat lahir dari ambruknya
tatanan moral di lingkungan
kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. Karena pandangan-pandangan lama tentang
baik dan buruk tidak lagi dipercayai, para filosof mempertanyakan kembali norma-norma dasar
bagi kelakukan manusia. Situasi
itu juga berlaku pada zaman sekarang. Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat
atau pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral,
(Suseno, 1987).
Dalam
konteks yang umum, hubungan bisnis sebenarnya adalah hubungan antar manusia.
Bisnis adalah suatu interaksi yang
terjadi akibat adanya kebutuhan yang tidak dapat diperoleh sendiri oleh
individu. Ini menunjukkan bahwa meskipun manusia
dikaruniai banyak kelebihan (akal, perasaan dan naluri), dalam
kenyataannya banyak memiliki kekurangan. Kekurangan itu makin
dirasakan justru ketika akal,
perasaan, dan naluri
menuntut peningkatan kebutuhan-kebutuhan. Akibatnya, kebutuhan manusia
kian berkembang dan kompleks sehingga tak terbatas. Melalui
interaksi bisnis inilah manusia saling melengkapi pemenuhan kebutuhan
satu sama lain, Panuju (1985).
Etika harus dibedakan antara etika dalam
bisnis (ethics in business) dan etika bisnis
(ethics of business). Kedua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Etika dalam
bisnis terkait dengan etika yang bersinggungan dengan bisnis sedangkan etika bisnis terkait
dengan etika pada umumnya. Dalam dunia perbankan misalnya,
etika dalam bisnis harus dinilai sesuai dengan perspektif profit maximisation sebagai filosofi yang mendasari perbankan tanpa memperhatikan
apakah etika tersebut sesuai dengan etika umum, Chatterjee, (1996)
Nilai-nilai dasar yang menjadi tolak ukur
etika bisnis adalah tingkah laku para
pengusaha dalam menjalankan usahanya. Apakah dalam usahanya
mengambil keuntungan dari masyarakat konsumen dilakukan
melalui persaingan usaha yang fair (jujur), transparent
(terbuka), dan ethic (etis). Perbuatan
yang
termasuk dalam
kategori unethical conduct misalnya
memberikan informasi yang tidak benar mengenai
bahan mentah, karakteristik/ciri dan mutu suatu produk,
menyembunyikan harta kekayaan perusahaan
yang sebenarnya untuk menghindari atau mengurangi
pajak, membayar upah karyawan di bawah UMR, melakukan persekongkolan tender, dan melakukan persaingan tidak sehat.
Dalam
kenyataannya, sangatlah tidak mungkin ada suatu ethical code dalam
bisnis. Di satu pihak kita telah
terbiasa secara keliru menganggap
bahwa kegiatan bisnis sebagai permainan
tipu menipu, tetapi di lain pihak
para pelaku usaha itu sendiri sering menyadari bahwa
apa yang mereka lakukan
itu tidak baik. Karena
itu, sebenarnya secara tanpa sadar kita semua
mengakui secara diam-diam bahwa
perlu ada suatu etika bisnis.
Pada
dasarnya, bisnis perlu dijalankan secara etis, karena bagaimana pun juga bisnis menyangkut tentang kepentingan siapa saja dalam masyarakat. Entah dia berperan
sebagai penjual, produsen, pembeli,
perantara, dan apa pun perannya, hampir semuanya tersangkut dalam bisnis ini. Hal itu berarti bahwa kita semua, berdasarkan kepentingan kita masing- masing,
menghendaki adanya agar bisnis itu berjalan dengan baik. Oleh karena itu, kita semua menghendaki agar bisnis dijalankan
secara etis sehingga tidak ada salah satu pihak yang
merasa dirugikan oleh pihak lain.
Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku
dalam kegiatan bisnis yang baik
sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia pada umumnya. Demikian pula, prinsip-prinsip itu sangat erat terkait dengan sistem
nilai yang dianut oleh masyarakat masing-masing. Namun, sebagai etika khusus atau etika
terapan, prinsip-prinsip dalam etika bisnis sesungguhnya adalah penerapan dari prinsip etika pada umumnya. Dan
karena itu, tanpa melupakan
kekhasan sistem nilai dari setiap masyarakat bisnis, di sini akan
dikemukakan beberapa prinsip etika
bisnis, (Keraf 2007), yaitu:
1. Prinsip Otonomi
Otonomi adalah
sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak berdasarkan
kesadarannya sendiri tentang apa yang dianggapnya
baik untuk dilakukan. Orang yang otonom adalah
orang yang sadar sepenuhnya akan apa yang menjadi kewajibannya dalam dunia bisnis. Dalam kerangka
etika, kebebasan adalah syarat
yang harus ada agar
manusia bisa bertindak secara etis. Hanya karena ia mempunyai
kebebasan maka ia dituntut
untuk bertindak secara etis.
2. Prinsip Kejujuran
Dalam
dunia
bisnis kejujuran menemukan wujudnya dalam tiga aspek, yaitu:
Pertama, kejujuran terwujud dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan
kontrak. Kedua, kejujuran menemukan wujudnya
dalam penawaran barang dan jasa dengan mutu
yang baik. Ketiga, kejujuran menyangkut pula hubungan kerja dalam
perusahaan. Dalam ketiga aspek wujud kejujuran
tadi terkait dengan erat
dengan kepercayaan, karena kepercayaan yang dibangun
di atas prinsip kejujuran merupakan modal
dasar usaha yang akan mengalirkan keuntungan yang berlimpah. Keuntungan
merupakan simbol kepercayaan
dan tanda terima kasih masyarakat dan mitra bisnis atas kejujuran kegiatan bisnis.
3.
Prinsip Tidak Berbuat Jahat (non-maleficence) dan Prinsip Berbuat Baik (beneficence)
Perwujudan kedua prinsip ini mengambil dua bentuk. Pertama, prinsip
berbuat baik menuntut
agar secara aktif dan maksimal kita semua berbuat hal yang baik bagi
orang lain. Kedua dalam wujudnya yang minimal dan pasif, sikap ini menuntut agar kita tidak
berbuat jahat kepada orang lain. Maksud
dari kedua prinsip di atas adalah bahwa secara maksimal orang bisnis dituntut
untuk melakukan kegiatan yang menguntungkan
bagi orang lain (atau lebih tepat, saling menguntungkan), tapi kalau situasinya tidak memungkinkan, maka titik batas yang masih
ditoleransi adalah tindakan yang
tidak merugikan pihak lain.
4. Prinsip Keadilan
Prinsip ini menuntut
agar kita memperlakukan orang lain sesuai dengan haknya. Hak orang lain perlu dihargai dan
jangan sampai dilanggar, persis seperti kita pun mengharapkan agar hak kita dihargai dan tidak dilanggar. Prinsip
ini mengatur agar kita
bertindak sedemikian rupa sehingga hak semua orang terlaksana secara kurang lebih sama sesuai dengan apa yang menjadi
haknya tanpa saling merugikan.
5. Prinsip Hormat
Kepada Diri Sendiri
Prinsip
ini bukan bersifat egoistis, melainkan
ingin menunjukkan bahwa tidak etis
jika kita membiarkan
diri kita diperlakukan secara tidak adil, tidak jujur, ditindas, diperas
dan sebagainya. Jadi,
sebagaimana kita sepantasnya tidak
boleh memperlakukan orang lain secara tidak adil, tidak jujur
dan sebagainya, kita pun berhak untuk memperlakukan
diri kita dan diperlakukan secara baik.
Kita wajib membela dan mempertahankan
kehormatan diri kita, jika martabat kita sebagai manusia dilanggar.
Agar
penerapan GCG tidak hanya dalam wacana konsep, maka penerapan prinsip-prinsip
GCG harus didukung oleh dimensi moral dan nilai-nilai etis. Prinsip-prinsip
etika bisnis kemudian diaplikasikan dalam tingkah laku berbisnis diperusahaan,
yang merupakan bagian penting dari kerangkan kerja (framework) GCG perusahaan dan memberikan acuan dalam
merumuskan kebijakan, sistem dan
prosedur, atau instruksi kerja. Penerapan etika bisnis merupakan hal yang
sangat penting untuk mempertahankan dan memajukan reputasi perusahaan sebagai
karyawan dan pimpinan perusahaan yang bertanggung jawab, dimana pada akhirnya
akan memaksimalkan kepentingan stakeholder.
Peran Akuntansi Dalam Penerapan Good Corporate Governance
Berikut
ini akan dibahas bagaimana peran
akuntansi dalam mendukung aplikasi good
corporate governance. Pemakai informasi yang dihasilkan oleh akuntansi dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok: pemakai eksternal dan pemakai internal.
Dalam berbagai literatur akuntansi
(misalnya: Garrison dan Noreen 2003) dikenal dua
bidang
akuntansi, yaitu Akuntansi Keuangan (Financial Accounting)
dan Akuntansi Manajemen (Management Accounting). Para pemakai eksternal akan menggunakan informasi yang dihasilkan
oleh bidang akuntansi keuangan,
sementara pemakai internal akan menggunakan terutama informasi yang dihasilkan dari
bidang akuntansi manajemen.
1.
Bidang
Akuntansi Keuangan
Salah
satu prinsip GCG yaitu prinsip transparansi , prinsip ini menginginkan agar
para stakeholder memperoleh informasi yang
cukup, benar, akurat, dan tepat waktu
sehingga dalam pengambilan keputusan terkait dengan laporan keuangan tidak
disesatkan. Laporan keuangan sebagaimana diatur oleh standar akuntansi
haruslah menyajikan informasi sesuai dengan
apa adanya, tanpa ada upaya untuk menutup-nutupi segala sesuatu
yang seharusnya diungkapkan. Hal ini diatur
dalam SAK yang secara
jelas menetapkan berbagai karakteristik kualitatif yang harus dipenuhi
oleh laporan keuangan. Karakteristik
itu terdiri dari dapat dipahami,
relevan, andal, dan dapat dibandingkan. Pemenuhan terhadap keempat karakteristik di atas akan menjadikan laporan keuangan
itu mengandung informasi yang tidak menyesatkan bagi pemakainya. Selain itu, pengertian dasar laporan keuangan itu tidaklah hanya sebatas laporan keuangan saja, melainkan meliputi pula catatan atas laporan keuangan yang secara keseluruhan akan
menggambarkan secara lengkap kondisi keuangan, hasil usaha dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan keuangan perusahaan.
Meskipun di dalam standar akuntansi terdapat kemungkinan perusahaan mengganti metode akuntansi
yang digunakan (misalnya metode
dalam
penilaian persediaan, penyusutan harta tetap), tetapi standar akuntansi
mewajibkan adanya penggunaan sesuatu metode atau teknik serta prinsip
secara konsisten. Kalaupun dilakukan pergantian,
pengaruhnya wajib untuk dijelaskan. Ketentuan ini jelas akan membuat laporan keuangan menjadi lebih bermutu dan bermanfaat karena
para pemakainya dapat mengukur
dan memperbandingkan
kondisi dan perkembangan keuangan serta kinerja perusahaan dari waktu
ke
waktu. Uraian pada alinea ini dan alinea sebelumnya jelas mendukung
terpenuhinya prinsip transparansi dari good corporate governance.
Prinsip “Adil” dalam good corporate
governance menuntut adanya perlakuan yang adil kepada semua pihak terkait,
terutama pemegang saham
minoritas. Penegakan atas prinsip ini tentu lebih banyak ditentukan
oleh peraturan dan norma yang tersedia
serta perilaku berbagai
pihak, terutama manajemen.
Sedikit yang dapat disumbangkan oleh akuntansi
dalam hal ini, adalah bahwa akuntansi itu bersifat netral dan independen.
Sikap netral dan independen ini berlaku secara keseluruhan, tidak hanya secara teori tetapi juga harus tercermin
dalam sikap dan perilaku para
akuntan dalam
kehidupannya. Hal ini diatur dalam
kode etik akuntan. Dengan demikian
informasi yang disiapkan melalui proses akuntansi keuangan tidak akan ditujukan untuk lebih menguntungkan bagi golongan pemakai tertentu karena ia tidak dirancang untuk memenuhi kebutuhan salah satu atau beberapa pemakai saja, melainkan dipersiapkan
untuk memenuhi kebutuhan umum semua jenis pemakainya.
Jadi sikap netral dan independennya akuntansi dan para akuntan akan mendukung
terealisasinya good corporate governance.
Salah
satu prinsip dasar yang dianut dalam akuntansi
adalah prinsip
konsertisme (conservatism) yang menunjukkan sikap kehati-hatian.
Prinsip ini mengatur bahwa dalam hal
perusahaan berhadapan dengan kejadian- kejadian yang tidak
pasti (uncertainty), maka
laporan keuangan harus memilih angka dan posisi yang kurang menguntungkan. Perusahaan sudah dapat
mencatat sesuatu kerugian yang belum direalisasi
tapi sudah ada dasarnya,
sementara laba yang sudah ada
indikasinya belum boleh dicatat sebelum laba itu direalisasi. Dengan menganut prinsip ini jelas bahwa pelaporan aktiva
maupun laba yang ditinggikan
(overstated) atau
sebaliknya pelaporan kewajiban dan biaya
atau rugi yang direndahkan (understated) akan terhindarkan. Para akuntan percaya bahwa dengan menganut
prinsip ini para pemakai laporan keuangan
kemungkinan kecil akan disesatkan (Schroeder dkk. 2001). Dengan demikian menganut
prinsip konservatisme akan mendukung terciptanya good corporate
governance.
2.
Bidang
Akuntansi Manajemen
Akuntansi manajemen digunakan dalam pengambilan
keputusan internal perusahaan, yaitu pihak manajemen
perusahaan, secara tidak langsung bidang akuntansi ini diharapkan dapat menciptakan good corporate governance.
Penjelasan berikut ini akan mencoba menggambarkan bagaimana bidang akuntansi manajemen
dapat memberikan kontribusinya bagi keberhasilan
dan peningkatan aplikasi good corporate governance.
Topik-topik terkait meliputi antara lain masalah
efisiensi, dukungan dalam proses pengambilan
keputusan yang optimal,
pengukuran kinerja, perhitungan dan penetapan renumerasi yang wajar, serta penyiapan strategi yang dapat meningkatkan posisi saing dan tentunya juga kinerja
perusahaan.
Dalam
akuntansi manajemen dikenal sistem pengendalian biaya (cost control systems) yang terdiri
dari akuntansi biaya dan manajemen
biaya. Akuntansi biaya
bertujuan
untuk
menghitung dan mengalokasikan
biaya
kepada produk sehingga harga
pokok produk dapat ditetapkan secara benar,
akurat dan dalam jumlah yang wajar. Meskipun
aspek efisiensi juga ikut menjadi perhatian,
namun fokus utama akuntansi biaya ini adalah kepada
kandungan biaya (cost containment). Sebaliknya manajemen biaya terarah terutama kepada tujuan untuk menurunkan
biaya dan perbaikan
yang berkelanjutan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keduanya bertujuan agar perusahaan
dapat menghasilkan produk yang
efisien dan harga pokoknya
telah dihitung secara benar dan akurat sesuai dengan tata cara
perhitungan akuntansi biaya. Hal ini jelas akan sangat membantu manajemen dalam mengelola perusahaan secara
benar, baik, dan efisien, yang tentunya
akan memberikan kontribusi yang berarti
juga
bagi
aplikasi
good
corporate
governance.
Dengan
tersedianya informasi akuntansi manajemen
(terutama informasi biaya) pihak manajemen akan lebih mudah dalam proses pengambilan keputusan.
Semakin baik informasi yang dipersiapkan oleh akuntansi
manajemen, maka akan semakin baik pula kualitas keputusan yang dibuat manajemen. Keputusan
yang terbaik tentunya akan memberikan profit yang
optimal bagi perusahaan. Profit yang optimal tentu akan meningkatkan kesejahteraan
pemegang saham, manajemen, dan karyawan
perusahaan dan jelas sejalan dengan tujuan
dari aplikasi good corporate
governance.
Pengukuran
kinerja sebuah perusahaan secara keseluruhan
dan juga kinerja bagian ataupun
unit-unit perusahaan (termasuk
manajernya) merupakan salah satu fungsi penting dalam perusahaan. Pengukuran kinerja
ini bertujuan untuk memotivasi manajemen dan
karyawan untuk mencapai
tujuan perusahaan serta mencegah mereka berperilaku menyimpang dari yang
diinginkan guna dapat tercapainya
tujuan tadi. Dengan demikian jelas bahwa pengukuran kinerja diharapkan akan memberikan
pengaruh positif bagi peningkatan kinerja perusahaan. Hal ini tentu secara tidak langsung
akan membantu berhasilnya aplikasi good corporate governance
dalam perusahaan. Begitu pula halnya akuntansi manajemen juga berperan dalam analisis dan penentuan besarnya jumlah renumerasi yang wajar bagi manajemen maupun
anggota dewan direksi dan dewan komisaris. Akhir-akhir ini dalam akuntansi
manajemen berkembang sistem pengukuran
kinerja yang tidak hanya terfokus kepada aspek keuangan.
Sistem ini dikenal sebagai Balanced Scorecard yang
meskipun masih menganggap kinerja keuangan sebagai
salah satu kriteria penting, tetapi sudah mengikut sertakan aspek nonkeuangan sebagai
kriteria pengukuran, seperti aspek
pelanggan, internal proses, dan aspek
pembelajaran dan pertumbuhan.
Keberhasilan sebuah perusahaan
dalam memenangkan persaingan dan sekaligus mencapai kinerja yang tinggi sangat ditentukan
oleh apa dan bagaimana strategi
yang digunakannya. Strategi
merupakan langkah-langkah tindakan
guna mewujudkan tujuan dan misi perusahaan. Dua strategi
yang utama
terdiri
atas
product differentiation
dan cost leadership. Differentiation adalah
strategi berupa penciptaan
dan pemeliharaan produk
yang unik menurut persepsi konsumen,
sementara cost leadership adalah strategi untuk
menghasilkan produk berkualitas dengan biaya yang termurah. Untuk dapat menjalankan
strategi-strategi ini, akuntansi
manajemen amat berperan dalam penyediaan informasi yang diperlukan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa akuntansi manajemen—meskipun tidak terlihat
secara langsung juga ikut membantu memberhasilkan aplikasi good corporate governance.
Peranan Akuntan Dalam Penerapan Good
Corporate Governance
Untuk dapat mengembangkan dan menerapkan GCG dibutuhkan peran akuntan, baik sebagai akuntan perusahaan
maupun sebagai praktisi
accounting dan auditing baik secara
internal maupun
sebagai
eksternal auditor. Untuk
membuktikan
bahwa perusahaan
sudah menjalankan GCG maka perlu dilakukan penilaian oleh pihak ketiga yang independen terhadap praktek corporate governance. Pihak ketiga independen tersebut adalah akuntan manajemen dan akuntan publik, (Herdinata, 2008).
Akuntan manajemen dengan
berlandaskan pada etika bisnis dan profesi dapat memberikan saran sesuai dengan
fungsi dari akuntansi manajemen yaitu masalah efisiensi, dukungan dalam proses pengambilan keputusan yang
optimal,
pengukuran kinerja, perhitungan dan penetapan renumerasi yang wajar, serta penyiapan strategi yang dapat meningkatkan posisi saing dan tentunya juga kinerja
perusahaan. Selain itu pula
akuntan manajemen dapat memberikan bantuan
kepada direksi dan dewan komisaris menyusun dan mengimlementasikan kriteria
GCG
di perusahaan, membantu menyediakan data keuangan dan operasi serta data lain
yang dapat dipercayai, accountable, akurat, tepat waktu,
obyektif,
dan
relevan.
Selain itu,
akuntan
manajemen
membantu
direksi
menyusun dan
mengimplementasikan struktur
pengendalian
intern.
Akuntan publik sebagai pihak luar yang
independen dituntut
menjunjung tinggi kode etik
profesi akuntan publik. Dalam Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia ditetapkan delapan prinsip
etika yang meliputi tanggung jawab profesi, kepentingan umum, integritas, obyektivitas, kompetensi dan kehati-hatian professional, kerahasiaan,
perilaku professional,
dan standar
teknis. Akuntan publik melakukan
pemeriksaan
terhadap laporan keuangan
klien, apakah
menyajikan secara wajar dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang diterima umum (generally accounting accepted principle). Laporan
auditor
akan digunakan berbagai pihak yang
berkepentingan dengan perusahaan
untuk mengambil keputusan
ekonomi, untuk itu auditor
dituntut bersikap independen. Sikap independensi inilah yang
diperlukan sesuai dengan fungsi akuntan publik dalam mendukung penerapan good corporate governance.
KESIMPULAN
Penerapan GCG yang hanya sebatas wacana
konsep dan jauh dari esensinya, dapat mengakibatkan kejatuhan bagi sebuah
perusahaan, karena sebagus apapun sistem
yang berlaku diperusahaan, apabila karyawan atau manajemen berprilaku
menyimpang dan melanggar etika bisnis dan profesi maka dapat terjadi praktek
fraud yang sangat merugikan perusahaan dan dapat berakhir dengan kebangkrutan. Penerapkan
GCG dibutuhkan peran akuntan, baik sebagai akuntan perusahaan
maupun sebagai praktisi
accounting dan auditing baik secara
internal maupun
sebagai
eksternal auditor. Akuntan manajemen
dengan berlandaskan pada etika bisnis dan profesi dapat memberikan saran sesuai
dengan fungsi dari akuntansi manajemen. Akuntan publik sebagai pihak luar yang
independen dituntut
menjunjung tinggi kode etik
profesi akuntan publik. Dalam Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia ditetapkan delapan prinsip
etika yang meliputi tanggung jawab profesi, kepentingan umum, integritas, obyektivitas, kompetensi dan kehati-hatian professional, kerahasiaan,
perilaku professional,
dan standar
teknis. Akuntan publik melakukan
pemeriksaan
terhadap laporan keuangan
klien, apakah
menyajikan secara wajar dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang diterima umum (generally accounting accepted principle).
REFERENSI
Alijoyo, F. A., dan Zaini, S., 2004. Komisaris Independen, Penggerak Praktik
GCG di Perusahaan, PT Indeks.
Azhar Maksum, 2005. Tinjauan Atas Good
Corporate Governance. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Tetap Dalam Bidang Ilmu Akuntansi Manajemen Pada Fakultas
Ekonomi. Diucapkan Di Hadapan
Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara Indonesia.
Chatterjee,
Charles. 1996. The
Corporate
Social Responsibility of
Banks. International
Company
and
Commercial Law Review, 7 (11).
Garrison, R. H., dan Noreen,
E. W., (2003), Managerial Accounting, Tenth
Edition, McGraw-Hill.
Herdinata
Christian, 2008. Good Corporate
Governance VS Bad Corporate Governance: Pemenuhan Kepentingan Antara Para
Pemegang Saham Mayoritas dan Pemegang Saham Minoritas. The2nd National
Conference UKWS, Surabaya, 6 September.
Keraf
A. Sony. 2007. Etika Bisnis,
edisi baru, Pustaka Filsafat,
Kanisius, Yogyakarta
Lestariningsih. 2008. Peranan Penerapan Good Corporate Governance
Dalam Pengembangan Perusahaan Publik.
Jurnal Spirit Publik. Volume 4, Nomor 2 Halaman: 113 – 122
Ludigdo,
Unti. 2007. Etika Paradoks. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.
Panuju Redi. 1995.
Etika Bisnis, PT Grasindo,
Jakarta
Schroeder, R. G., et al (2001), Financial Accounting Theory and Analysis,
John Wiley & Sons, Inc.
Solomon, J., dan
Solomon, A. (2004), Corporate Governance and
Accountability, John Wiley & Sons, Ltd.
Suseno, Franz, Magniz. 1987. Etika Dasar – Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral”, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Tjager, I. N., Alijoyo, F. A., Djemat, H. R., dan Soembodo, B., (2003), Corporate Governance, Tantangan
dan Kesempatan bagi Komunitas
Bisnis Indonesia, PT Prenhallindo.
Yustiavandana, Ivan dan Surya, Indra. 2006.
Good Corporate Governance: Mengesampingkan Hak-hak Istimewa Demi
Kelangsungan Usaha. Lembaga Kajian Pasar Modal dan Keuangan (LKPMK)
Fakultas Hukum Indonesia.
Zarkasyi, H. Moh. Wahyudin. 2008. Good Corporate Governance. Alfabeta
Bandung.
0 komentar:
Posting Komentar