Jumat, 10 Februari 2012

TRANSAKSI DERIVATIF DITINJAU DARI PERSPEKTIF ETIKA ISLAM


Oleh:
Herman Darwis
Universitas Khairun

Abstrak
Etika merupakan studi standar moral yang tujuan eksplisitnya adalah menentukan standar yang benar atau yang didukung oleh penalaran yang baik, sehingga etika mencoba mencapai kesimpulan tentang moral yang benar dan salah, dan moral yang baik dan jahat. Dalam menganalisis benar atau salah terhadap transaksi derivatif, digunakan etika dari perspektif Islam. Transaksi derivatif pada dasarnya secara teknikal tidak ada keberatan dari sudut pandang Islam selama transaksi tersebut semata-mata untuk melindungi kemungkinan resiko yang terjadi dan transaksi tersebut benar-benar direalisasikan pada waktu jatuh temponya. Tetapi jika transaksi derivatif  tersebut digunakan untuk tujuan spekulatif, misalnya menyelesaikan transaksi sebelum jatuh temponya dengan melakukan set-off terhadap selisih harga, maka transaksi derivatif tersebut mengandung unsur ghararr, dalam perspekti etika Islam dilarang melakukan  transaksi yang mengandung unsur gharar, hukum jual beli gharar dilarang berdasarkan al Quran dan Hadis Nabi. Selain itu Islam tidak memperbolehkan seseorang untuk menjual sesuatu yang tidak dikuasainya (option).
KayWord: Etika, Etika Islam, Transaksi Derivatif, Forward, Future, Option.

Sepanjang 1 abad belakangan ini, krisis keuangan terus terjadi dan berulang. Setelah didera krisis hebat sejak tahun 1929, ekonomi dunia tak pernah sepi dari krisis yang kekerapannya lebih dari 20 kali krisis. Kini di tahun 2008 perekonomian global kembali mengalami goncangan dahsyat. Bermula dari subprime mortgage crisis di Amerika Serikat (A.S.) tahun 2007 yang lalu, dalam waktu relatif singkat kemudian dalam tahun 2008 berubah menjadi tsunami keuangan yang melanda sistem dan pasar keuangan global, tak terkecuali pasar keuangan Indonesia, (Barokah, 2009). Perekonomian dunia digelembungkan oleh transaksi maya yang dilakukan oleh segelintir orang di beberapa kota dunia, seperti London ( 27 %), Tokyo, Hongkong Singapura (25 %) dan Chicago-New York ( 17 %). Menurut data, diperkirakan transaksi maya di pasar uang dunia mencapai US $ 750 trilyun setahun, sedangkan kegiatan perdagangan dan jasa (sektor riel) hanya US $ 7,5 trilyun saja.  Dengan demikian pertumbuhan uang demikian cepat, tapi ia bagaikan gelembung (bubble) saja. Seringkali gelembung ini pecah yang mengakibatkan krisis di mana-mana, termasuk krisis Asia yang hingga akhir ini masih terasa, Agustianto (2009)
Salah satu penyebab krisis keuangan Amerika Serikat yang kemudian menjalar ke Negara-negara lain adalah transaksi produk derivatif yang dilaksanakan oleh perusahaan atau individu. Perusahaan-perusahaan di Indonesia termasuk BUMN juga melaksanakan transaksi tersebut dan akhirnya mengalami kesulitan keuangan karena adanya perubahan pasar yang berlawanan dengan harapan atau prediksinya, (Rizqullah, 2009). Warrant Buffet sebagai salah satu investor kelas dunia, mengatakan bahwa transaksi derivatif sebagai senjata keuangan pemusnah massal, yang artinya traksaksi tersebut dapat menghancurkan ekonomi dunia dalam waktu singkat sebagaimana telah terbukti dengan apa yang dialami oleh Amerika Serikat saat ini. Pemerintah Amerika akhirnya juga sempat melarang transaksi derivatif tersebut dipasar modal. Paul Krugman juga mengatakan bahwa ekonomi dunia telah menjadi tempat yang sangat berbahaya dari yang kita bias bayangkan sebagai akibat dari praktek transaksi derivatif.
Kondisi tersebut di atas sangat memprihatinkan, karena transaksi derivatif yang tujuan utamanya untuk mengantisipasi resiko, tetapi malah menjadi senjata keuangan pemusnah massal, karena ulah para pelaku bisnis yang tidak mengedepankan etika bisnis dan nilai-nilai moral. Pandangan Islam dalam transaksi atau aktifitas bisnis, dimana Islam mendorong ummatnya untuk berdagang, dan bahkan merupakan fardhu kifayah, namun bukan berarti dapat dilakukan sesuka dan sekehendak manusia, seperti lepas kendali. Ummat Islam dalam kiprahnya mencari kekayaan dan menjalankan usahanya hendaklah menjadikan Islam sebagai dasarnya dan keredhaan Allah sebagai tujuan akhir dan utama. Mencari keuntungan dalam melakukan perdagangan merupakan salah satu tujuan, tetapi jangan sampai mengalahkan tujuan utama. Dalam pandangan Islam bisnis merupakan sarana untuk beribadah kepada Allah dan merupakah fardlu kifayah, oleh karena itu bisnis dan perdagangan tidak boleh lepas dari peran Syari'ah Islamiyah.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan apa dan bagaimana sebenarnya produk derivatif tersebut, dan apakah transaksi derivatif merupakan sebuah tindakan yang baik atau buruk, wajar atau tidak wajar, atau diperbolehkan atau dilarang menurut ajaran Islam.



ETIKA
Teori Etika
            Banyak teori dan pelajaran tentang etika (contohnya adalah filsafat terapan) yang mengevaluasi masalah-masalah moral. Di antaranya adalah teori-teori Aristotelianisme, consequentialisme, instrumentalisme, hedonisme, egoisme, altruisme, utilitarianisme, deontologisme, dan etika Kantian. Teleological ini dianut oleh pengikut utilitarianisme, di antara para pemukanya terdapat Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1973). Termasuk pula di dalam analisis teleological ini adalah pandangan dari filsuf kontemporer John Rawls yang dinamakan “veil of ignorance”, didasarkan kepada prinsip distributive justice. Ahli fisafat terapan yang mengadopsi pendekatan Kantian menganut pandangan Deontological, yaitu pandangan yang berbasis proses pengambilan keputusan dalam menentukan suatu perbuatan. Pemukanya di antaranya adalah filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804), (Laura, 1998).
            Menurut Triyuwono, (2000) bahwa pada dasarnya  ada dua sistem etika arus utama, yakni utilitarianisme (utilitarianism) dan deontologisme (deontologism). Yang pertama menilai tindakan, apakah secara moral benar atau salah, berdasarkan konsekwensi tindakan, berkaitan dengan pencapaian utilitarianisme, untuk memaksimalkan kebajikan, kesenangan, atau kebenaran. Dengan demikian, tindakan-tindakan itu secara moral benar bila dapat memaksimalkan kenikmatan. Sebaliknya deontologi tidak didasarkan pada konsekwensi tindakan tapi membenarkan tindakan berdasarkan sifat-sifat tindakan (tugas, peraturan dan prinsip).
Sitompul (2008) mengatakan bahwa Utilitarianisme adalah bentuk etika teleological yang lebih familiar dikenal oleh pelaku-pelaku bisnis yang memusatkan pandangannya terhadap masalah “the bottom line”. Menurut pandangan utilitarianisme, kerangka yang harus digunakan dalam rangka mempertimbangkan suatu tindakan yang akan diambil, harus didasarkan pada perhitungan atas akibat atau konsekuensi dari tindakan itu. Tujuannya adalah untuk memilih alternatif yang menghasilkan “yang paling baik bagi kelompok terbesar. Sedangkan etika yang berbasis kewajiban adalah deontology, yaitu suatu pandangan dimana keputusan tentang suatu tindakan harus diambil dengan dasar adanya kewajiban, bukan dengan dasar akibat atau konsekuensi dari keputusan itu. Pendekatan ini sering pula dinamakan pendekatan kewajiban demi kepentingan kewajiban“. Para penganut pandangan ini harus menerapkan keahlian dan pemikiran untuk menemukan bentuk bahasan tentang kewajiban tersebut dan mengidentifikasi manfaatnya.
Teori etika Islam  bersumber  dari prinsip keagamaan. Teori yang bersumber keagamaan tidak akan kehilangan subtansi teorinya, karena teori etika Imanuel kant di bangun berdasarkan metafisika dan banyak orentasi etika klasik dan modern bercorak keagamaan tanpa kehilangan warna teorinya. Keimanan menentukan perbuatan; keyakinan menentukan prilaku. Perspektif metafisika intinya tidak berbeda dengan perspektif agama. Menurut Badroen dkk, (2006: 36), bahwa  subtansi utama penyilidikan tentang etika dalam Islam antara lain: (1) hakikat benar (birr) dan salah; (2) masalah free will dan berhubungannya dengan kemahakuasaan Tuhan-tanggung jawab manusia; dan (3) keadilan Tuhan dan realitas keadilannya dikemudian hari.
Etika Bisnis
Etika merupakan ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan standar moral masyarakat. Ia mempertanyakan bagaimana standar-standar diaplikasikan dalam kehidupan kita dan apakah standar itu masuk akal atau tidak masuk akal – standar, yaitu apakah didukung dengan penalaran yang bagus atau jelek. Etika merupakan penelaahan standar moral, proses pemeriksaan standar moral orang atau masyarakat untuk menentukan apakah standar tersebut masuk akal atau tidak untuk diterapkan dalam situasi dan permasalahan konkrit. Tujuan akhir standar moral adalah mengembangkan bangunan standar moral yang kita rasa masuk akal untuk dianut. Etika merupakan studi standar moral yang tujuan eksplisitnya adalah menentukan standar yang benar atau yang didukung oleh penalaran yang baik, dan dengan demikian etika mencoba mencapai kesimpulan tentang moral yang benar dan salah, dan moral yang baik dan jahat.
Secara historis etika sebagai usaha filsafat lahir dari ambruknya tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. Karena pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercayai, para filosof mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi kelakukan manusia. Situasi itu juga berlaku pada zaman sekarang. Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral, (Suseno, 1987).
Velasquez, (2005) menyatakan bahwa etika merupakan ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan standar moral masyarakat. Lebih jauh lagi Velasquez menambahkan bahwa etika bisnis adalah merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini ini berkonsetrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan institusi dan perilaku bisnis.  Dalam konteks yang umum, hubungan bisnis sebenarnya adalah hubungan antar manusia.
Panuju (1985) mengatakan bahwa bisnis adalah suatu interaksi yang terjadi akibat adanya kebutuhan yang tidak dapat diperoleh sendiri oleh individu. Ini menunjukkan bahwa meskipun manusia dikaruniai banyak kelebihan (akal, perasaan dan naluri), dalam kenyataannya banyak memiliki kekurangan. Kekurangan   itu   makin   dirasakan   justru   ketika   akal,   perasaan,   dan   naluri   menuntut peningkatan kebutuhan-kebutuhan. Akibatnya, kebutuhan manusia kian berkembang dan kompleks sehingga tak terbatas. Melalui interaksi bisnis inilah manusia saling melengkapi pemenuhan kebutuhan satu sama lain.
ETIKA  BISNIS DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Etika bisnis dalam kaitannya dengan ajaran Islam, berarti sebuah pemikiran atau refleksi tentang moralitas yang membatasi kerangka acuannya kepada konsepsi sebuah organisasi dalam ekonomi dan bisnis yang didasarkan atas ajaran Islam. Etika bisnis Islam mengatur tentang sesuatu yang baik atau buruk, wajar atau tidak wajar, atau diperbolehkan atau tidaknya perilaku manusia dalam aktivitas bisnis baik dalam lingkup individu maupun organisasi yang didasarkan atas ajaran Islam. Dalam paradigma  Islam tentang etika bisnis, maka landasan filosofis yang harus dibangun dalam pribadi Muslim adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam bahasa agama dikenal dengan istilah (hablum minallah wa hablumminannas). Dengan berpegang pada landasan ini maka setiap muslim yang berbisnis atau beraktifitas apapun akan merasa ada kehadiran "pihak ketiga"  (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi bagian integral dari setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis dalam Islam tidak semata mata orientasi dunia tetapi harus punya visi akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi Islam.
 Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak  harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan symbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika  oreientasi bisnis dan upaya investasi  akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang "dibisniskan" (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat. Setiap aktivitas dunia senantiasa berkaitan erat dengan aktivitas akhirat sehingga harus berada dalam bingkai ajaran Islam. ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
Hai  orang-orang  yang  beriman!  Jangan  kamu  memakan harta-harta saudaramu dengan cara yang batil, kecuali harta itu diperoleh dengan jalan dagang yang ada saling kerelaan dari antara  kamu.  Dan  jangan  kamu  membunudiri-diri kamu,karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan sikap permusuhan dan penganiayaan, maka kelak akan Kami masukkan dia ke dalam api neraka..

Menurut Mujahidin, (2005) bahwa dengan memahami ayat-ayat tersebut, maka ada bebarapa bentuk transaksi yang dapat dikategorikan terlarang:
1.        Tidak jelasnya takaran dan spesifikasi barang yang dijual.
2.        Tidak jelas bentuk barangnya.
3.        Informasi yang diterima tidak jelas sehingga pembentukan harga tidak berjalan dengan mekanisme yang sehat.
4.        Penjual dan pembeli tidak hadir di pasar sehingga perdagangan tidak berdasarkan harga pasar.
Model-model transaksi di atas hendaknya menjadi perhatian serius dari pelaku pasar muslim. Penegakan nilai-nilai moral dalam kehidupan perdagangan di pasar harus disadari secara personal oleh setiap  pelaku  pasar.  Artinya,  nilai-nilamoralitas  merupakan  nilai yang sudah tertanam dalam diri para pelaku pasar, karena ini merupakan refleksi dari keimanan kepada Allah. Dengan demikian seseorang boleh saja berdagang dengan tujuan mencari keuntungan yansebesar-besarnya,  tetapi dalam Islam,  bukan sekedar  mencari besarnya keuntungan melainkan dicari juga keberkahan. Keberkahan usaha merupakan kemantapan dari usaha itu dengan memperoleh keuntungan yang wajar dan diridai oleh Allah swt. Untuk memperoleh keberkahan dalam jual-beli, Islam mengajarkan prinsip-prinsip moral sebagai berikut:
            Berikut ini batasan-batasan (etika) yang diberikan oleh Islam dalam menjalankan kegiatan ekonomi dan bisnis. Dengan batasan-batasan tersebut kegiatan ekonomi dan bisnis kita akan memiliki nilai ibadah, hal ini sesuai dengan misi diciptakannya manusia.
1.    Kewajiban Agama Lebih Utama
Orang yang dikuasai oleh harta dan bisnisnya sehingga mengabaikan kewajiban terhadap Allah SWT adalah orang-orang yang iman dan akhlaqnya tipis, dan ini bertentangan dengan Syari'ah Islamiyah. Allah pernah menegur beberapa orang Islam zaman Rasulullah SAW. Pasalnya adalah ketika Rasulullah sedang menyampaikan khutbah Jum'at, mereka mendengar kedatangan kafilah yang membawa dagangan dari Syam. Kebetulan pada waktu itu kota Madinah sedang mengalami kekurangan makanan, sehingga mereka tidak sabar lagi untuk segera mendatangi kafilah tersebut, maka turunlah ayat Allah:
Dan ketika mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah : "Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan". Dan Allah sebaik-baik pemberi rezeki. (Al-Jum'ah (62):11)

Demikianlah Allah SWT mencela perbuatan mereka yang mengabaikan kewajiban agama karena urusan bisnis. Adab dan etika bisnis hendaklah dijaga dan kewajiban terhadap Allah tidak boleh diabaikan. Setelah kewajiban ini ditunaikan Allah mendorong orang yang beriman untuk melanjutkan kegiatan bisnisnya, sambil terus mengingat Allah dalam setiap detak jantung dan denyut nadi.
2.        Saling Rela
Kegiatan bisnis dan perdagangan harus dijalankan oleh pihak-pihak yang terlibat atas dasar suka sama suka. Tidak boleh dilakukan atas dasar paksaan, tipu daya, kezaliman, menguntungkan satu pihak diatas kerugian pihak lain. Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berjalan atas dasar suka sama suka diantara kamu” (An-Nisaa (4): 29).

3.    Jauhkan Melakukan Riba
Dalam berbisnis hendaklah harus bersih dari unsur-unsur riba yang telah jelas-jelas dilarang oleh Allah, sebaliknya menggalakkan jual beli dan investasi. Haramnya riba telah jelas, tetapi dalam dunia usaha bukanlah hal yang mudah bagi kita untuk menghindarkan diri dari cengkraman riba. Walaupun demikian kita harus terus berusaha mengatasi hal ini dengan merumuskan langkah-langkah alternatif yang efektif.
Islam mendorong masyarakat kepada usaha yang nyata dan produktif. Islam mendorong masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Perbedaan yang mendasar antara investasi dan membungakan uang. Investasi adalah kegiatan yang mengandung resiko karena berhadapan dengan unsur ketidak pastian.Oleh karena itu pula return dalam investasi tidak pasti dan tidak tetap. Sedangkan praktek membungakan uang adalah kegiatan yang relatif tidak beresiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga relatif tetap dan pasti.
4.    Tidak Menipu
Islam mengharamkan penipuan dalam semua aktifitas manusia, termasuk dalam kegiatan bisnis dan jual beli. Memberikan penjelasan dan informasi yang tidak benar, mencampur barang yang baik dengan yang buruk, menunjukkan contoh barang yang baik dan menyembunyikan yang tidak baik termasuk dalam kategori penipuan. Pada suatu hari Rasulullah SAW mengadakan inspeksi pasar. Rasulullah memasukkan tangannya kedalam tumpukkan gandum yang nampak baik, tetapi beliau terkejut karena ternyata yang di dalam tidak baik (basah). Rasulullah pun bersabda :
"Juallah ini (yang baik) dalam satu bagian dan yang ini (yang tidak baik) dalam bagian yang lain. Siapa yang menipu kami bukanlah termasuk golongan kami". (HR Muslim).

Dari pernyataan diatas jelaslah bagi kita bahwa Islam mengecam penipuan dalam bentuk apapun dalam berbisnis. Lebih jauh lagi barang yang hendak dijual harus dijelaskan kekurangan dan cacatnya, dan jika ada yang menyembunyikannya adalah suatu kezaliman. Prinsip ini sebenarnya akan menciptakan kepercayaan antara pembeli dan penjual, yang akhirnya menciptakan keharmonian dalam masyarakat.
5.        Tidak Mengurangi Timbangan, Takaran dan Ukuran
Setiap muslim dituntut untuk menegakkan keadilan meskipun terhadap diri sendiri. Mereka juga dituntut untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak tanpa pandang bulu. Dalam berbisnis keadilan dan amanah tetap harus ditegakkan. Mengurangi timbangan, takaran dan ukuran merupakan perbuatan dosa besar. Melalui lisan nabi Syu'aib Allah memerintahkan kepada kita agar beribadah kepada Allah dan mentauhidkanNya, menyempurnakan takaran dan timbangan dan jangan mengurangi hak orang lain dan jangan melakukan kerusakan di muka bumi.
“Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata : Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbanganya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang yang beriman”. (Al-Araf : 85)

6.    Tidak Menjual Belikan yang Haram
Barang yang diperjual belikan haruslah barang yang halal baik zat maupun sifat-sifatnya. Dalam Islam haram hukumnya memperdagangkan barang-barang seperti minuman keras, daging babi, judi, barang curian, pelacuran dan lain-lain. Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah SWT jika mengharamkan suatu barang, maka harganya pun haram juga” (HR Ahmad dan Abu Daud)

7.    Ihtikar/Menimbun/Monopoli
Islam memberikan jaminan kebebasan pasar dan kebebasan individu untuk melakukan bisnis, namun Islam melarang prilaku mementingkan diri sendiri, mengeksploitasi keadaan yang umumnya didorong oleh sifat tamak dan loba sehingga menyulitkan dan menyusahkan orang banyak. Perbuatan ihtikar semacam ini sangat dilarang, Rasulullah SAW menegaskan dalam sebuah hadist :
“Seburuk-buruk hamba ialah orang yang melakukan ihtikar, jika ia mendengar harga barang murah dirusakannya (barang itu) dan jika harganya melambung tinggi ia bergembira” (Imam Muslim).

Keberhasilan bisnis bukan hanya bagaimana kita dapat memaksimalkan keuntungan dengan modal yang minimal dalam jangka waktu singkat. Tetapi juga bagaimana bisnis ini menjadi ibadah yang diridhoi Allah dan dapat memberikan kemashlahatan kepada masyarakat banyak.
8.    Mengambil Kesempatan dalam Kesempitan
Pedagang yang tidak bermoral dan tipis imannya senantiasa mengambil kesempatan dari kelemahan dan kekurangan orang lain dengan menggunakan berbagai cara, agar dapat meraih keuntungan yang besar. Cara seperti ini dalam term fiqh biasanya dikenal dengan sebutan jual beli najash dan talaqqi ar-rukban.
Yang dimaksud jual beli najash adalah seperti seorang yang seolah-olah akan membeli barang dengan harga tinggi, agar calon pembeli yang sebenarnya berani membeli dengan harga yang lebih tinggi. Sedangkan talaqqi ar-rukban adalah seseorang yang mengetahui kedatangan seorang pedagang dari luar kota, orang tersebut membelinya dengan harga murah dan dibawah harga pasaran, kemudian menjualnya dengan harga yang jauh lebih mahal. Kedua jenis jual beli seperti ini mengandung unsur dosa karena telah mengandung penipuan dan mengambil kesempatan dari kelemahan orang lain.
9.    Tidak Mengandung Gharar dan Maisir
Gharar atau ketidak jelasan. Akad jual beli yang mengandung unsur-unsur gharar dapat menimbulkan perselisihan, karena barang yang diperjual belikan tidak diketahui dengan baik, sehingga sangat dimungkinkan terjadi penipuan. Contohnya jual beli ikan yang masih berada di dalam kolam yang tidak diketahui ukuran, jenis dan rupanya. Gharar dapat mengarah kepada maisir (perjudian). Menurut Ibnu Taimiyah, gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al aqibah), menurut Syaikh As-Sa’di al-gharar adalah al-Mukhatarah (pertaruhan) dan al Jahalah (ketidakjelasan, seperti pertaruhan atau perjudian karena tidak dapat dipastikan jumlah dan ukurannya), perihal ini masuk dalam kategori perjudian.

DERIVATIF

Pengertian Derivatif

Menurut Suwarno, (2003) bahwa derivatif adalah sebuah istilah portofolio yang mengaitkan suatu kenaikan jumlah produk dan jenis-jenis produk dengan seperangkat penggunaan yang semakin membingungkan. Kelompok-kelompok orisinil dari produk yang dianggap sebagai derivatif telah diperluas untuk mencakup: jenis produk baru, klasifikasi produk baru, pasar-pasar baru, para pengguna baru, dan bentuk risiko baru. Dua klasifikasi terbesar dari derivatif adalah derivatif berbasis forward (forward-based derivatives) dan derivatif berbasis option (options-based derivatives). Sebenarnya masih banyak klasifikasi lainnya, yang mencakup strip dan mortgage-backed securities, tetapi yang terkenal adalah dua klasifikasi utama tersebut di atas.

Transaksi Derivatif

Suatu transaksi derivatif merupakan sebuah perjanjian antara dua pihak yang dikenal sebagai counterparties (pihak-pihak yang saling berhubungan). Dalam istilah umum, transaksi derivatif adalah sebuah kontrak bilateral atau perjanjian penukaran pembayaran yang nilainya tergantung pada diturunkan dari nilai aset, tingkat referensi atau indeks. Saat ini, transaksi derivatif terdiri dari sejumlah acuan pokok (underlying) yaitu suku bunga (interest rate), kurs tukar (currency), komoditas (commodity), ekuitas (equity) dan indeks (index) lainnya.
Mayoritas transaksi derivatif adalah produk-produk Over the Counter  (OTC) yaitu kontrak-kontrak yang dapat dinegosiasikan secara pribadi dan ditawarkan langsung kepada pengguna akhir, sebagai lawan dari kontrak-kontrak yang telah distandarisasi (futures) dan diperjualbelikan di bursa. Menurut para dealer dan pengguna akhir (end user) fungsi dari suatu transaksi derivatif adalah untuk melindungi nilai (hedging) beberapa jenis risiko tertentu. Alasan penggunaan derivatif, antara lain:

1.        Peralatan untuk mengelola risiko;

2.        Pencarian untuk hasil yang lebih besar;

3.        Biaya pendanaan yang lebih rendah;

4.        Kebutuhan-kebutuhan yang selalu berubah dan sangat bervariasi dari sekelompok pengguna;

5.        Hedging risiko-risiko saat ini dan masa datang;

6.        Mengambil posisi-posisi risiko pasar;

7.        Memanfaatkan ketidakefisienan yang ada di antara pasar-pasar.

Instrumen Derivatif
Secara teori, transaksi derivatif ibarat sebuah mata uang yang memiliki dua sisi. Satu sisi berfungsi sebagai alat lindung atau penjaminan agar suatu usaha dapat produktif dan efisien. Disisi lain, transaksi derivatif juga merupakan alat spekulasi yang bertujuan mendapatkan keuntungan dari transaksi itu sendiri. Banyak sekali jenis transaksi derivatif yang ada dipasar dan pada kesempatan ini hanya dikemukakan beberapa jenis transaksi derivatif yang utama yaitu: forward, option dan futures.
1.    Forward
Produk derivatif adalah suatu aset keuangan yang nilainya ditentukan dari nilai suatu asset yang lain. Forward adalah jenis produk derivatif yang pertama dan sederhana. Dalam kontrak forward, dua pihak mengadakan perjanjian penyerahan suatu barang pada waktu yang akan datang dengan harga yg sudah ditentukan lebih dahulu pada saat perjanjian dibuat. Misalnya, perusahaan minyak sebagai penjual (Pn) dan pedagang minyak sebagai pembeli (Pm). Keduanya dihadapkan pada resiko usaha seperti naik turunnya harga minyak. Pn menghadapi resiko turunnya harga sementara Pm sebaliknya. Karena perbedaan resiko yang berlawanan itulah, maka keduanya dapat mengadakan kontrak forward untuk menghindari resiko harga, misalnya untuk jangka waktu 3 bulan. Dengan kontrak forward tersebut, Pn dan Pm dapat melaksanakan dan mengambil keputusan bisnisnya dengan baik, terutama selama jangka waktu kontrak forward karena keduanya sudah tahu harganya saat ini dan terbebas dari resiko naik turunnya harga pada saat penyerahan/ pembayaran barang 3 bulan kemudian.
2.    Futures
 Kontrak forward memiliki beberapa kendala dalam pelaksanaannya, antara lain: masing-masing pihak (Pn dan Pm) tidak mudah mendapatkan counterpart atan lawan berkontrak yang memiliki kebutuhan yang sama dalam hal jumlah, kualitas dan waktu penyerahan barang. Keduanya juga belum tentu memiliki informasi yang sama (asymmetric information) sehingga satu pihak memiliki posisi yang lemah dan terpaksa menerima kondisi yang ditentukan pihak lain. Disamping itu, masing-masing pihak menghadapi apa yang disebut dengan counterparty risk atau risiko lawan berkontrak, yaitu kemungkinan pihak lain tidak dapat melaksanakan kewajibannya pada saat jatuh tempo kontrak forward. Karena itulah maka dibutuhkan produk lain yang disebut “futures”. Kontrak futures adalah kontrak forward yang distandarisasi dalam hal jumlah, kualitas, waktu dan tempat penyerahan barang. Pada dasarnya, standarisasi ini dimaksudkan untuk menghilangkan kendala atau kelemahan yang ada pada forward. Namun demikian, dalam perkembangannya, futures juga masih memiliki beberapa kelemahan terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan perusahaan untuk: a). mengatasi masalah kewajiban/klaim kontinjen dan b). memanfaatkan pergerakan harga untuk mendapatkan keuntungan karena dalam futures harga telah dikunci atau ditetapkan diawal. Untuk itulah, maka muncul produk derivatif bernama “options”
3.    Options
Kontrak options pada dasarnya memberikan hak, tetapi bukan kewajiban, kepada pembeli option. Option ada 2 macam yaitu put option dan call option. Put option dimaksudkan untuk melindungi resiko harga turun tetapi sekaligus memiliki peluang untung bilamana harga naik. Call option adalah sebaliknya, yaitu untuk melindungi resiko harga naik tetapi sekaligus memiliki peluang untung bilamana harga turun.
Pelaku Transaksi Derivatif:
Pada dasarnya pelaku transaksi derivatif meliputi bank, lembaga keuangan non bank, perusahaan dan perseorangan yang kesemuanya dapat kelompokkan kedalam tiga macam, yaitu: Hedger, Arbitrator dan spekulator. Hedger melaksanakan transaksi derivatif semata-mata untuk melakukan lindung nilai atau mengatasi resiko finansial yang timbul sebagai akibat dari aktivitas bisnisnya. Arbitrator melakukannya untuk mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan selisih harga suatu produk yang terjadi disatu pasar dengan pasar yang lain. Bilamana selisih harga yang terjadi cukup untuk mendapatkan keuntungan, maka arbitrator akan membeli produk tersebut dengan harga yang lebih rendah disatu pasar dan menjualnya dipasar yang lain yang harganya lebih tinggi. Arbitrator dapat pula memanfaatkan selisih harga pada produk dan pasar yang berbeda seperti antara future dengan option. Spekulator melaksanakan transaksi derivatif untuk mendapatkan keuntungan dengan mengambil resiko tanpa melindungi resiko itu sendiri. Dalam kenyataannya, spekulator telah mendominasi pasar keuangan dunia sehingga menjadi salah satu penyebab dari krisis keuangan global saat ini.
TRANSAKSI DERIVATIF MENURUT ETIKA ISLAM
Transaksi derivatif merupakan transaksi finansial dan bukan  transaksi yang riil karena tidak ada hubungannya dengan barang secara fisik.  Walaupun transaksi tersebut melibatkan penyerahan barang dimasa yang akan datang, seperti yang terdapat pada kontrak “futures”, tetapi dalam prakteknya juga menjadi alat spekulatif karena kontrak derivatif yang dibuat pada umumnya diselesaikan sebelum jatuh temponya sehingga menggugurkan kewajiban penyerahan barang tersebut. Dalam kontrak futures tersebut, pelaku pasar hanya memanfaatkan volatilitas harga barang selama masa kontrak untuk mendapatkan keuntungan financial dan tidak berniat untuk merealisasikan kontrak itu sendiri pada waktu jatuh temponya. Hal ini terjadi terutama karena faktor “risiko” yang seharusnya dilindungi telah dijadikan sebagai komoditas yang diperjual belikan dipasar keuangan.
Adanya unsur spekulsi dalam transaksi derivatif, maka dapat dikatakan bahwa transaksi derivatif mengandung unsur ghararr, dalam perspekti etika Islam kegiatan transaksi baik yang dilakukan oleh perorangan maupun organisasi dilarang melakukan  transaksi yang mengandung unsur gharar, yaitu dalam hal yang tidak diketahui pencapaiannya dan juga atas sesuatu  yang  majhul  (tidak  diketahui). Hukum jual beli gharar dilarang dalam Islam berdasarkan al Quran dan Hadis Nabi. Larangan jual beli gharar dalam al Qur’an didasarkan kepada ayat-ayat yang melarang memakan harta orang lain dengan cara batil, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”(QS. Al Baqarah: 188)

Dalam surat lain Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu” (QS. An Nisa: 29).

Selain itu dikatakan oleh Utomo (2009) bahwa, short selling dan option dilarang karena Islam tidak memperbolehkan seseorang untuk menjual sesuatu yang tidak dikuasainya (prinsip hadits: “la tabi’ ma laisa ‘indak). Selain itu pula adanya larangan berbisnis dengan cara untung-untungan (maysir). Seperti dikatakan oleh Barokah (2009) bahwa sistem dan pasar keuangan dan capital market di Amerika telah didominir oleh setan tiga serangkai atau trinitas setan (satanic trinity) yang terdiri dari (1) bunga (riba) dalam transaksi keuangan; Praktek riba terlihat jelas pada bisnis derivatif yang sangat laris di pasar uang dan pasar modal AS. (2) Produk derivatif yang tak jelas underline transactionnya itu disebut juga dengan gharar, karena ketidak jelasan produk riilnya. Produk gharar ini disamarkan dengan istilah produk hybrids dan derivatives yang dibungkus dan dikemas dengan mekanisme securitisation insurance atau guarantee; (3) Perilaku dan praktek spekulatif atau untung-untungan (maisir) yang juga tanpa dilandasi transaksi riil. Zaroni, (2007) mengatakan bahwa sistem Islam melarang setiap aktivitas perekonomian tak terkecuali jual beli (perdagangan) yang mengandung unsur paksaan, mafsadah (lawan dari manfaat), dan gharar (penipuan).
Menurut Rizqullah, (2009) bahwa banyak ulama dan pemikir Islam memberikan pendapatnya secara beragam terhadap transaksi derivatif. Dalam transaksi forward dan futures, pada dasarnya secara teknikal tidak ada keberatan dari sudut pandang Islam selama transaksi tersebut semata-mata untuk melindungi kemungkinan resiko yang terjadi dan transaksi tersebut benar-benar direalisasikan pada waktu jatuh temponya. Konsep dasar transaksi tersebut sebenarnya sama dengan apa yang sabdakan oleh Nabi Muhammad SAW yaitu bahwa siapa yang melaksanakan salaf (forward trading) harus melaksanakannya dengan jumlah, berat dan periode waktu yang tertentu/spesifik.
Tetapi jika transaksi derivatif tersebut digunakan untuk tujuan spekulatif, misalnya menyelesaikan transaksi sebelum jatuh temponya dengan melakukan set-off terhadap selisih harga, sebagaimana yang terjadi saat ini, maka Islam jelas melarangnya. Mufti Taqi Usmani dalam Rizqullah (2009) mengatakan bahwa transaksi futures yang ada saat ini tidak sesuai syariah karena dua hal:
1.    Pertama, transaksi tersebut tidak dilaksanakan efektif pada waktu jatuh temponya.
2.    Kedua, pada saat kontrak dibuat, transaksi tersebut tidak dimaksudkan untuk direalisasikan.
Disamping itu, transaksi futures tersebut juga tidak sesuai syariah karena dalam prakteknya saat ini transaksi futures tidak berhubungan langsung dengan fisik barang sehingga tidak memberikan nilai tambah kepada sektor produktif/riil dan semata-mata digunakan untuk tujuan spekulasi. Transaksi derivatif saat ini termasuk dalam kategori zero-sum game karena selisih harga yang harus dibayar/diselesaikan antara harga saat kontrak dibuat dengan harga saat jatuh temponya didebetkan ke rekening satu pihak dan dikreditkan kepihak lainnya. Oleh karenanya, transaksi derivatif disebut juga contract of differences.
KESIMPULAN
Transaksi derivatif  pada dasarnya secara teknikal tidak ada keberatan dari sudut pandang islam selama transaksi tersebut semata-mata untuk melindungi kemungkinan resiko yang terjadi dan transaksi tersebut benar-benar direalisasikan pada waktu jatuh temponya. Konsep dasar transaksi tersebut sebenarnya sama dengan apa yang sabdakan oleh Nabi Muhammad SAW yaitu bahwa siapa yang melaksanakan salaf (forward trading) harus melaksanakannya dengan jumlah, berat dan periode waktu yang tertentu/spesifik.
Tetapi jika transaksi derivatif  tersebut digunakan untuk tujuan spekulatif, misalnya menyelesaikan transaksi sebelum jatuh temponya dengan melakukan set-off terhadap selisih harga, sebagaimana yang terjadi saat ini, maka transaksi derivatif mengandung unsur ghararr, dalam perspekti etika Islam kegiatan transaksi baik yang dilakukan oleh perorangan maupun organisasi dilarang melakukan  transaksi yang mengandung unsur gharar, yaitu dalam hal yang tidak diketahui pencapaiannya dan juga atas sesuatu  yang  majhul  (tidak  diketahui). Hukum jual beli gharar dilarang dalam Islam berdasarkan al Quran dan Hadis Nabi. Selain itu Islam tidak memperbolehkan seseorang untuk menjual sesuatu yang tidak dikuasainya (option).
DAFTAR PUSTAKA
Agustianto, 2009. Kerapuhan kapitalisme (Perspektif Ekonomi Islam). www.pesantrenvirtual.com.

Al-Qur’an, Terjemahan Departemen Agama (1986) Departemen Agama: YPPA, PT. Bumi Restu.
Asril Sitompul. (2008) Etika Bisnis Dalam Praketk. www.pihilawyers.com

Badroen, faisal., Mufraeni, M. Arief.,Suhenra.,Bashori, D Ahmad. 2006. Etika Bisnis dalam Islam. Penerbit UIN Jakarta Press.

Barokah,Ridwan Ali. 2009. Bahaya Transaksi Derivatif . www.pesantrenvirtual.com.

Laura, Pincus Hartman. 1998. Perspectives  in Business Ethics. (Massachusetts: Irwin/McGraw-Hill,), hal 5. 

Mujahidin, Akhmad. 2005. Etika Bisnis Dalam Islam: (Analisis Terhadap Aspek Moralitas Pelaku Bisnis). Jurnal. Hukum Islam. Vol. INo. 2. Desember.

Panuju Redi.  1995. Etika Bisnis, PT Grasindo, Jakarta.

Rizqullah. 2009. Transaksi Derivatif Apa dan bagaimana menurut Islam.www. rizqullah.niriah.com

Suseno,  Franz, Magniz. 1987. Etika Dasar – Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral”, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Suwarno, Edi Broto.2003. Derivatif: Tinjauan Hukum Dan Praktek Di Pasar Moda Indonesia. Finance Law Workshop: Derivatives Transaction tanggal 21 september.
Triyuwono, Iwan. 2000. Organisasi dan Akuntansi Syariah. LKiS. Yogyakarta.

Utomo Setiawan Budi. 2008. Trading Sekuritas dan Jual Beli Saham.Ekonomi Syari'ah.www.dakwatuna.com
Velasquez, G. Manuel. 2005. Etika Bisnis: Konsep dan Kasus. Andi Yogyakarta.

Zaroni Akhmad Nur. 2007. Jual Beli Gharar (Tinjauan Terhadap Proses Dan Obyek Transaksi Jual Beli). Jurnal. Mazahia, Vo. IV. No. Juni.

0 komentar:

Posting Komentar